Obituari Politik: Dari Politik Uang ke Uang Politik

- 17 Mei 2023, 19:06 WIB
Reza D Tohis, Presidium KAHMI Bolmong.
Reza D Tohis, Presidium KAHMI Bolmong. /

Irrasionalitas dari rasionalitas reifikasi atau simtom neurosis, akan terus berlanjut, Karena pada saat pergantian penguasa melalui PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah), politik uang akan tetap dilakukan. Rakyat pun siap menjual komoditi suara sakralnya, aktor-aktor politik tertentu, kembali berlomba, yang punya uang adalah pemenang. Artinya, selama politik uang masih terus mewarnai PILKADA dan momen-momen politik lainnya, maka akan semakin tertanam mentalitas irrasionalitas dari rasionalitas reifikasi. Mempengaruhi interaksi masyarakat, relasi antara rakyat dan pemerintah seperti yang sudah di jelaskan di atas, otomatis akan semakin banyak simtom-simtom neurosis. Pada saat yang bersamaan, demokrasi menjadi pasar komoditi, tidak lagi sebagai sarana penegakan harkat dan martabat manusia. Pada titik inilah rakyat menjadi demos yang tidak kratos, hanya karena Politik uang.

Politik uang dan irrasionalitas dari rasionalitas reifikasi, akan melanggengkan sistem kapitalisme lanjut. Misalnya, ketika terdapat perusahaan-perusahaan nasional dan multinasional (untuk megeruk nilai lebih) masuk di suatu daerah, maka akan langsung diterima baik oleh pemerintah (yang di kuasai oleh aktor-aktor pemenang politik uang) maupun rakyat, karena sudah bermental rasionalitas reifikasi. Rakyat siap menjadi pekerja di perusahaan tersebut secara temporal, sewaktu-waktu bisa dipecat secara tidak resmi atau resmi (habis kontrak). Sementara perusahaan itu tetap berdiri tegar di tanah rakyat itu sendiri, mengeruk terus nilai lebih. Di sini Perusahaan serta aktor-aktor politik tertentu (pemenang politik uang) dalam pemerintahan diuntungkan, sementara rakyat dirugikan. Dari situ, bisa dikatakan bahwa perusahaan itulah yang berkuasa, bukan pemerintah, dan tentu juga bukan rakyat. Alasannya sederhana, karena aktor-aktor tersebut, mudah dikendalikan oleh perusahaan. Dengan demikian, pemerintah yang diberikan kekuasaan (legitimasi) oleh rakyat untuk menjamin kesejahteraan rakyat, justru kehilangan kekuasaan. inilah yang disebut dengan ber-politik tapi tidak politis (polis). Pada titik ini politik menuai kematiannya, namun tidak disadari oleh politik itu sendiri.

Solusi

Ada kematian, pasti juga ada kehidupan, politik akan lahir kembali, tinggal bagaimana dia di hidupi. Untuk menghidupinya, terlebih dahulu harus diberikan susu beruang. Susu adalah analogi untuk kesehatan mental yang bisa diperoleh dengan meletakan kembali pengetahuan rasional pada wilayah fungsionalnya masing-masing. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa telah terjadi pendominasian terhadap pengetahuan rasional praktis-etis oleh pengetahuan rasional teknis. Artinya, yang teknis tidak bisa ditinggalkan, namun dikembalikan pada fungisnya. Kemudian yang praktis-etis digunakan dalam kehidupan sosial, termasuk politik. Sehingga kita tidak akan menjadikan manusia lain sebagai objek. Dengan itu, interaksi antar manusia akan terjalin secara sehat, dan tindakan yang lahir adalah tindakan komunikasi, dimana kita bisa saling memahami secara aktif, bukan pasif. Sebagai sesama subjek personal bukan objek impersonal. Sebagai sesama manusia bukan benda. Sebagai sesama manusia bukan komoditi.

Pengetahuan rasional praktis-etis, akan melahirkan tindakan rasional praktis-etis yang tidak lain adalah karakteristik para beruang. Beruang adalah analogi untuk manusia-manusia radikal (bukan radikalisme). Manusia radikal adalah subjek negativitas atau berkekurangan, tidak pernah utuh. Subjek negativitas adalah mereka yang senantiasa berdialektika, karena itu dia selalu mengalami disintegrasi dan desubstansialisasi (Salvoj Zizek, Tarrying with The Negative, 1993:21). Dengan karakter negativitas ini, manusia radikal berada dalam ketegangangan antara integrasi dan disintgerasi, antara substansi dan desubstansi. Dengan itu, dia selalu berada dalam proses menjadi dengan cara berinteraksi atau berkomunikasi secara aktif (dialektis).

Naluri untuk terus berkomunikasi itu di karenakan negativitas dari manusia itu sendiri. Dia selalu berusaha untuk mengutuhkan kekurangannya dengan berinteraksi secara aktif, namun selalu saja tidak akan utuh. Dengan pola dialektis ini, manusia radikal tidak mudah dijadikan objek oleh kapitalisme. Karena jika dilihat secara saksama, modus-modus kapitalisme adalah untuk mengutuhkan kekurangan manusia. Misalnya dengan karir, hiburan, konsumsi, dan kepuasan akan posisi-posisi menyilaukan itu.

Begitu juga dengan pengetahuan teknis dan tindakan rasional-bertujuan yang mencoba mengendalikan dunia sosial, sebenarnya adalah usaha untuk mempositivkan negativitas mansuia itu sendiri, dengan cara mengontrolnya secara teknis yang tidak lain adalah usaha pengutuhan. Namun semua itu tidak akan berhasil terhadap subjek radikal, si manusia beruang. Manusia beruang atau manusia radikal (subjek negativitas) inilah yang mampu berdemokrasi dan menghidupi prinsip demokrasi itu sendiri, yakni kebebasan, persamaan atau kesetaraan dan kedaulatan rakyat. Prinsip ini bersifat ontologis, berarti ada dan menjadi ada dalam individu maupun masyarakat (konsep ontologi mengacu pada Heidegger. Lihat Martin Heidegger, Being and Time, 1962:149-168). Serta universal, berarti berlaku bagi seluruh manusia apapun latar belakangnya (Reza A.A.Wattimena, Demokrasi; Dasar Filosofis dan Tantangannya, 2016:95).

Prinsip-prinsip tersebut inklusif dalam subjek negativitas. Dengan kata lain, prinsip itu sudah menjadi karakternya. Untuk bisa berdialektika, berinteraksi, dan berkomunikasi aktif, di butuhkan kebebasan. Sementara persamaan dan kesetaraan, mengandaikan persamaan posisi sebagai sama-sama subjek personalitas, dan kedaulatan, mengandaikan saling memahami secara intersubjektif. Proses-proses ini, selalu dalam bingkai progresifitas atau menjadi (ontologis), dan berlaku bagi setiap orang (universal). Karena sudah menjadi karakter, maka demokrasi manusia radikal tidak hanya terbatas pada momen-momen tertentu, melainkan berlangsung terus dalam kehidupan sehari-hari (lebenswelt). Inilah demos yang kratos, dan inilah ber-politik yang politis (polis). Dari situ politik uang tidak akan terjadi lagi.

Segui Il Tuo Corso, Lescia Dir Le Genti!”

Penulis: Reza D. Tohis, Presidium KAHMI Bolaang Mongondow. 

Halaman:

Editor: Mohamad Ramdhani Amiri

Sumber: Reza D Tohis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x