Obituari Politik: Dari Politik Uang ke Uang Politik

- 17 Mei 2023, 19:06 WIB
Reza D Tohis, Presidium KAHMI Bolmong.
Reza D Tohis, Presidium KAHMI Bolmong. /

Berbeda dengan masyarakat tradisional, dalam masyrakat modern kemudian kontemporer, proses belajar berada pada tahap reflektif, yakni masyarakat tidak menerima begitu saja klaim-klaim kesahihan. Industrialisasi, pengetahuan ilmiah (institusi pendidikan), dan teknologi, mendorong proses-proses reflektif tersebut. Ukuran-ukuran kesahihannya lebih bersifat metodis, yakni distansi, netralitas, hukum-hukum, universal, dan instrumental. Pada tahap ini, ukuran etis, spiritual, dan metafisis bisa dikatakan tidak mendapatkan tempat, tapi bukan berarti hilang. Sehingga klaim kesahihan dari otoritas tertentu bergeser ke individu-individu yang tergabung dalam komunitas ilmiah. Artinya, diskursus pengetahuan di dominasi oleh metode tersebut. Dengan demikian, otoritas tidak lagi berada ditangan kepala suku, melainkan pada komunitas ilmiah (misalnya Lingkaran Wina, Mazhab Frankfurt, dan lain sebagainya) dalam mempengaruhi atau menentukan pengetahuan rasional masyarakat.

Jadi terdapat dua jenis pengetahuan rasional, yaitu pengetahuan teknis dan pengetahuan praktis-etis. Pengetahuan teknis berisi tentang cara mengelola alam, terwujud dalam bentuk tindakan kerja, sedangkan pengetahuan praktis-etis, berisi aturan-aturan norma, terwujud dalam bentuk tindakan interaksi (komunikasi). Dari segi orientasi, pengetahuan teknis berorientasi sukses, sedangkan pengetahuan praktis-etis berorientasi saling memahami. Tindakan teknis meletakan alam sebagai objek impersonal, bisa dikalkulasi, digarap, dikelola (kerja) menjadi produk-produk yang bisa dimanfaatkan oleh manusia (sukses). Tindakan praktis-etis, memperlakukan manusia sebagai subjek personal, saling berinteraksi, dan memahami. Kedua tindakan itu, masing-masing disebut oleh Habermas, dengan tindakan rasional-bertujuan dan tindakan komunikasi (Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komuniktaif I, 2012).

Tindakan rasional-bertujuan dan tindakan komunikasi, memiliki ruang lingkup masing-masing, atau wilayah fungsionalnya. Tindakan rasional-bertujuan, untuk melakukan pekerjaan (alamiah), sedangkan tindakan komunikasi untuk berinteraksi (sosial). Keduanya tidak saling bertentangan dan mendominasi, justru saling melengkapi. Bisa dilihat dalam dunia kehidupan tradisional, di tandai dengan nilai-nilai tradisi-kultural. Misalnya terdapat warga yang mau menanam padi (alamiah/produksi). Sebelum melakukannya dia terlebih dahulu berintraksi (sosial/komunikasi) dengan warga lainnya, untuk datang membantunya. Para wargapun bersedia membantu, karena sudah ada konsensus dalam bentuk aturan-aturan norma (struktur-struktur normatif). Berlanjut sampai panen (alamiah/distribusi), mereka yang membantu mendapat imbalan (sosial/komunikasi) berupa hasil panen dengan kadar terentu. Dari sini, kita bisa mengatakan bahwa kedua tindakan rasional tersebut, ketika diterapkan pada wilayah fungsionalnya masing-masing, maka akan tercipta kehidupan yang baik. Dengan demikian, paralel dengan hakikat pengetahuan sebagai mana sudah dijelaskan di atas.

Dalam dunia kehidupan modern, ditandai dengan munculnya industrialisasi dan pengetahuan ilmiah. Terjadi perubahan penerapan wilayah fungsional, atau tepatnya pendominasian ruang lingkup penerapan. Tindakan rasional-bertujuan mendominasi tindakan komunikasi, dengan mengambil alih wilayah fungsionalnya. Dari situ, dunia kehidupan sosial dipahami selayaknya dunia kehidupan alamiah, yakni menggunakan pengetahuan teknis, diatur dengan tindakan rasional bertujuan dan berorientasi sukses. Manusia diletakan sebagai objek impersonal, bisa dikalkulasi, digarap, dikelola (memperkerjakan), menjadi produk-produk yang bermanfaat untuk manusia tertentu. Ini terlihat dalam sistem kapitalisme, misalnya, di pabrik-pabrik, manusia (buruh) dipekerjakan (dikelola), dengan jam kerja (kalkulasi) melebihi dari upah yang mereka terima (digarap), untuk menghasilkan nilai lebih atau keuntungan lebih (sukses) bagi si kapitalis (pemilik modal).

Dalam dunia kehidupan kontemporer, ditandai dengan dominasi sistem kapitalisme lanjut, pengetahuan ilmiah, dan teknologi. Dominasi tindakan rasional-rasional bertujuan semakin meluas, tidak hanya terdapat di pabrik-pabrik, namun juga dalam sistem pemerintahan (politik). Misalnya sistem birokrasi modern atau sistem administratif (sistem teknokrasi). Seperi dijelaskan oleh Weber, bahwa di dalam sistem tersebut, terdapat prinsip area yuridiksional, ditetapkan dan resmi, diatur dengan kaidah hukum atau administratif, prinsip hirarki jabatan dan tingkat-tingkat kewenangan hirarkis, manajemen jabatan berdasarkan aturan-aturan dan aktivitas resmi yang menuntut kapasitas kerja penuh pegawai (Max Weber, Essays in Sosiology, 1946:237-238). Artinya, sistem ini mengarahkan manusia berpikir dan bertindak (digarap) secara sistematis prosedural dan mekansistik (dikelola), mengacu pada aturan-aturan, hukum-hukum dan pengaturan-pengaturan (dikalkulasi), agar efektif dan efisien (sukses).

Sistem tersebut kemudian merembes sampai pada wilayah sosio-kultur. Rakyat diatur secara administratif birokratis (sistem teknokratis), atau diatur dengan pengetahuan teknis dan tindakan rasional-bertujuan. Manusia diletakan selayaknya objek-objek alamiah impersonal. Bisa dikalkulasi, digarap, dikelola, untuk kesusksesan manusia tertentu. Pada titik ini, manusia benar-benar menjadi objek atau terbendakan. Proses-proses objektivikasi manusia melalui pengetahuan teknis dan tindakan rasional-bertujuan inilah yang disebut dengan reifikasi (pembendaan), atau rasionalitas reifikasi. Ketika manusia menjadi benda dalam dunia kehidupan yang di dominasi oleh sistem kapitalisme lanjut, maka manusia kemudian dijadikan komoditi, bisa diperjual belikan. Sebagaimana terlihat jelas dalam politik uang.

Politik uang adalah fakta konkret dari rasionalitas reifikasi. Suara rakyat dijadikan komoditi, di perjual belikan, untuk kesuksesan aktor politik tertentu. Menjadikan suara rakyat sebagai komoditi tidak lain adalah menjadikan manusia sebagai benda. Karena suara rakyat adalah manifestasi harkat dan martabat manusia yang mestinya dijunjung tinggi. Sebagaimana itu dicerminkan dalam prinsip-prinsip demokrasi, yakni kebebasan, kesetaraan atau persamaan, dan kedaulatan rakyat. Dengan kata lain, prinsip-prinsip demokrasi itu adalah harkat dan martabat manusia sendiri yang harus ditegakan dalam sistem politik demokrasi. Dengan demikian, politik uang tidak hanya menjadikan suara rakyat sebagai komoditi, menjadikan manusia sebagai benda, namun juga tidak manusiawi, serta merusak demokrasi.

Uang Politik

Uang politik, saya maksudkan sebagai efek atau akibat-akibat dari politik uang. Jadi pada bagian ini akan dijelaskan efek dari politik uang.

Politik uang akan melanggengkan rasionalitas reifikasi, membentuk mentalitas reifikasi. Misalnya, rakyat berinteraksi dengan motif-motif ekonomis, satu sama lain saling mengkalkulasi secara untung-rugi. Begitu juga relasi antara rakyat dan pemerintah (yang di kuasai oleh aktor pemenang politik uang), keduanya akan saling me-reifikasi. Saling melihat sebagai objek-objek impersonal, sebagai komoditi. Contohnya, jabatan pemerintahan bisa ditawar-tawar dengan nominal tertentu. Merayu rakyat untuk menjual lahannya demi perusahaan asing. Program-program sosialisasi bermotif uang duduk. Tentunya, semua itu dianggap rasional, masuk akal. Padahal bertentangan dengan hakikat pengetahuan yang sudah dijelaskan di atas, yakni untuk mengantarkan manusia pada kesadaran diri, pencerahan budi, dan kebijaksanaan. Artinya, pengetahuan yang rasional, semestinya mengantarkan manusia pada hakikat pengetahuan, bukan sebaliknya, dalam hal ini menjadi benda. Jadi rasionalitas reifikasi sebenarnya adalah irrasionalitas, hanya saja tidak disadari, dalam bahasa psikologi disebut simtom neurosis.

Halaman:

Editor: Mohamad Ramdhani Amiri

Sumber: Reza D Tohis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x