Obituari Politik: Dari Politik Uang ke Uang Politik

- 17 Mei 2023, 19:06 WIB
Reza D Tohis, Presidium KAHMI Bolmong.
Reza D Tohis, Presidium KAHMI Bolmong. /

PORTAL KOTAMOBAGU, Pikiran Rakyat - Problematisasi. “Ketika Politik Ditimang Oleh Ber-Uang, Maka Kita Perlu Susu Beruang,” Reza D. Tohis.

Kehidupan (lebenswelt) saat ini (kontemporer), mau diakui atau tidak, di dominasi oleh sistem kapitalisme lanjut (spatkapitalismus). Kapitalisme merupakan sistem ekonomi dengan sejumlah besar pekerja, menghasilkan komoditi demi keuntungan sejumlah kecil kapitalis yang memiliki komoditi, alat-alat produksi, dan waktu kerja buruh (George Ritzer, Teori Sosiologi, 2012:92-93). Sekilas bisa dipahami bahwa ini hanyalah subsistem ekonomi, bagian dari subisistem-subsistem lain dalam sistem dunia kehidupan (alamiah/sosial). Namun, Marx menegaskan bahwa kapitalisme adalah sistem kekuasaan, di dalamnya pekerja di eksploitasi. Misalnya, penerapan jam kerja tinggi dengan upah yang rendah. Paling menyakitkan adalah terjadinya proses alienasi, yakni terpisahnya kerja dengan hasil kerja (komoditi), lahirnya fetisisme (pemujaan) komoditi melalui mekanisme pasar (lebih jauh lihat Karl Marx, Kapital I; Proses Produksi Kapitalis, 2004. Kapital II; Proses Sirkulasi Kapitalis, 2006. Kapital III; Proses Kapitalis Secara Menyeluruh, 2007), dan kemudian mengeras menjadi reifikasi melalui rasionalisasi (rasionalitas reifikasi).
Ciri struktural sistem kapitalisme lanjut, yaitu pemusatan modal yang menghasilkan perusahaan-perusahaan nasional dan multinasional dalam bentuk oligopoli-oligopoli.

Kemudian, repolitisasi masa sebagai ganti dari depolitisasi masa sistem kapitalisme liberal. Tujuannya, untuk mengambil atau memperoleh motivasi, kepercayaan, dan loyalitas dari rakyat sebagai basis legitimasi pemerintah/negara (subsistem politik), dalam rangka mengintervensi perekonomian (subsistem ekonomi). Legitimasi itu, sangat di butuhkan untuk menyembunyikan kontradiksi antara produksi yang dilaksanakan oleh pemerintah/negara dan produksi swasta yang masih terus mengeruk keuntungan (nilai lebih). Ini dilakukan dengan cara membuat sistem administrasi (sistem teknokrasi atau birokrasi) yang lepas dari pengambilan keputusan demokrasi sejati, yakni melibatkan partisipasi masyrakat. Dengan demikian, repolitisasi massa, motivasi, kepercayaan, dan loyalitas rakyat, justru mencegah partisipasi, karena itu, rakyat menjadi nonpolitis, dan diarahkan pada karir, hiburan, konsumsi, dan puas dengan posisinya itu (Jurgen Habermas dalam F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, 2009:179).

Pembuatan sistem administrasi tersebut, melibatkan proses-proses rasionalisasi yang pada gilirannya menjadi reifikasi (pembendaan) atau rasionalitas reifikasi (George Lukach, History and Class Consciousness, 1923). Akhirnya menyebabkan depolitisasi massa, rakyat seolah-olah berpartisi, tapi sebenarnya tidak, demos yang tidak kratos, ber-politik tapi tidak politis (polis), ini terlihat jelas dalam politik uang. Artinya, politik uang merupakan salah satu fakta konkrit rasionalitas reifikasi yang tidak lain adalah ciri dari sistem kapitalisme lanjut itu sendiri. Tulisan ini mencoba menjelaskan relasi antara kapitalisme lanjut, rasionalitas reifikasi, dan politik uang, di mana ketiganya menyebabkan kematian politik, namun tidak disadari oleh politik itu sendiri. Untuk itulah tulisan ini dibuat sebagai pengingat, dengan judul obituari politik (berita kematian politik).

Politik Uang

Sebagaimana sudah disinggung di atas bahwa politik uang adalah salah satu ciri dari sistem kapitalisme lanjut. Di dalamnya terjadi jual-beli suara selayaknya komoditi, sering kita lihat pada momen-momen politik, misalnya PILKADA (pemilihan kepala daerah). Politik uang menjadi sesuatu yang niscaya, tidak bisa di elakan, rakyat menerimanya, merelakan suara sakralnya dijadikan komoditi, di beli dengan nominal tertentu. Para aktor politikpun membeli, berlomba mendapatkan komoditi suara rakyat terbanyak, siapa yang banyak uangnya, dialah pemenang, dialah The Prince. Jika ditanya mengapa semua itu terjadi? Tentu sebagian besar orang akan menjawab bahwa siapa yang tidak butuh uang? Ya, kita tahu, uang adalah alat utama untuk memenuhi kebutuhan, dan terbilang tidak mudah memperolehnya, di butuhkan usaha tertentu, bahkan usaha keras. Ketika uang diberikan secara cuma-cuma, maka sangat mudahlah manusia terbuai oleh rayuan aktor politik ber-uang tertentu. Namun, sebenarnya tidak sesederhana itu, politik uang melibatkan proses rasionalitas reifikasi.

Habermas menjelaskan bahwa rasionalitas berhubungan dengan bagaimana subjek memperoleh, berbicara, bertindak, dan menggunakan pengetahuan. Di dalamnya terdapat suatu reabilitas (kepercayaan), terhadap pengetahuan yang ada (Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komuniktaif I; Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat, 2012:10). Pengetahuan merupakan hasil tahu manusia, dengan pengetahuan manusia bisa memiliki pencerahan budi (tercerahkan), kesadaran diri, dan kebijaksanaan. Dalam tradisi pemikiran Yunani purba (dan juga ditempat-tempat lain seperti di India, Cina kuno dan lain sebagainya), pengetahuan merupakan bentuk kehidupan, suatu jalan untuk mengolah, dan mendidik jiwa dengan membebaskan manusia dari perbudakan. Dengan jalan itu, manusia mendapat otonomi serta kebijaksanaan hidup yang itu memperoleh kepadatan isinya melalui fungsinya bagi kehidupan praktis manusia (tindakan) (F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, 2009:22). Dengan kata lain, pengetahuan pada dasarnya untuk mengatarkan manusia pada kesadaran diri, pencerahan budi, dan kebijaksanaan kemudian diaktualisasikan dalam tindakan. Inilah hakikat pengetahuan.
Pengetahuan diperoleh manusia melalui proses belajar di dalam dunia kehidupan. Dunia kehidupan merupakan realitas tempat manusia hidup sehari-hari, bisa di petakan dalam dua bentuk, yakni dunia kehidupan alamiah dan sosial. Dunia alamiah, merupakan tempat manusia memperoleh sumber penghidupan dengan cara mengelola alam. Dunia sosial, tempat manusia saling berinteraksi satu sama lain. Untuk itu, manusia mau tidak mau harus terus belajar, baik untuk mengelola alam maupun berinteraksi. Sebagaimana diintrodusir oleh Habermas bahwa dunia kehidupan adalah tempat belajar manusia, sehingga memungkinkan adanya perubahan baik alamiah mapun sosial (Jurgen Habermas, Legitimation Crisis, 1975). Proses belajar ini kemudian melahirkan pengetahuan dalam mengelola alam dan berinteraksi. Keduanya tidak saling terpisah, melainkan saling melengkapi untuk kebaikan bersama. Kebaikan bersama tidak lain adalah manifestasi dari hakikat pengetahuan itu sendiri.

Dari penjelasan di atas, bisa dipahami bahwa dunia kehidupan sebagai tempat hidup dan belajar manusia, terus mengalami perubahan seiring sejalan dengan perkembangan pengetahuannya. Perkembangan itu, bisa dipetakan dalam dua tahap, yaitu dari non-reflektif ke reflektif. Dalam konteks masyarakat, proses itu menurut Habermas melibatkan bentuk-bentuk diskursus (percakapan) untuk menghasilkan pengetahuan yang sahih. Di dalamnya terdapat klaim kesahihan berdasar ukuran-ukuran dari otoritas tertentu dalam suatu masyarakat (Habermas dalam F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, 2009:172). Diskursus tentang dunia kehidupan alamiah, melahirkan klaim kebenaran tentang pengetahuan cara mengelola alam atau pengetahuan teknis. Diskursus tentang dunia sosial, melahirkan klaim ketepatan tentang pengetahuan norma-norma (sutruktur-struktur normatif) sebagai dasar untuk berinteraksi atau pengetahuan praktis-etis. Pengetahuan teknis dan praktis-etis inilah yang kemudian disebut dengan pengetahuan rasional.

Pengetahuan rasional, di percaya oleh masyarakat sebagai pengetahuan yang benar dan tepat. Kepercayaan itu, lahir dari proses-proses diskursus yang sudah dijelaskan di atas. Di mana klaim kesahihan berdasar pada ukuran dari otoritas tertentu. Dalam masyarakat tradisional, proses belajar berada pada tahap non-reflektif, yakni masyarakat menerima begitu saja klaim kesahihan pengetahuan teknis dan praktis-etis. Klaim itu berdasar pada ukuran-ukuran etis, spiritual, dan metafisis dari pemegang otoritas, misalnya kepala suku. Di sini, kepala suku berperan penting dalam menentukan pengetahuan rasional masyarakatnya.

Halaman:

Editor: Mohamad Ramdhani Amiri

Sumber: Reza D Tohis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Pemilu di Daerah

x