Obituari Politik: Dari Politik Uang ke Uang Politik

- 17 Mei 2023, 19:06 WIB
Reza D Tohis, Presidium KAHMI Bolmong.
Reza D Tohis, Presidium KAHMI Bolmong. /

PORTAL KOTAMOBAGU, Pikiran Rakyat - Problematisasi. “Ketika Politik Ditimang Oleh Ber-Uang, Maka Kita Perlu Susu Beruang,” Reza D. Tohis.

Kehidupan (lebenswelt) saat ini (kontemporer), mau diakui atau tidak, di dominasi oleh sistem kapitalisme lanjut (spatkapitalismus). Kapitalisme merupakan sistem ekonomi dengan sejumlah besar pekerja, menghasilkan komoditi demi keuntungan sejumlah kecil kapitalis yang memiliki komoditi, alat-alat produksi, dan waktu kerja buruh (George Ritzer, Teori Sosiologi, 2012:92-93). Sekilas bisa dipahami bahwa ini hanyalah subsistem ekonomi, bagian dari subisistem-subsistem lain dalam sistem dunia kehidupan (alamiah/sosial). Namun, Marx menegaskan bahwa kapitalisme adalah sistem kekuasaan, di dalamnya pekerja di eksploitasi. Misalnya, penerapan jam kerja tinggi dengan upah yang rendah. Paling menyakitkan adalah terjadinya proses alienasi, yakni terpisahnya kerja dengan hasil kerja (komoditi), lahirnya fetisisme (pemujaan) komoditi melalui mekanisme pasar (lebih jauh lihat Karl Marx, Kapital I; Proses Produksi Kapitalis, 2004. Kapital II; Proses Sirkulasi Kapitalis, 2006. Kapital III; Proses Kapitalis Secara Menyeluruh, 2007), dan kemudian mengeras menjadi reifikasi melalui rasionalisasi (rasionalitas reifikasi).
Ciri struktural sistem kapitalisme lanjut, yaitu pemusatan modal yang menghasilkan perusahaan-perusahaan nasional dan multinasional dalam bentuk oligopoli-oligopoli.

Kemudian, repolitisasi masa sebagai ganti dari depolitisasi masa sistem kapitalisme liberal. Tujuannya, untuk mengambil atau memperoleh motivasi, kepercayaan, dan loyalitas dari rakyat sebagai basis legitimasi pemerintah/negara (subsistem politik), dalam rangka mengintervensi perekonomian (subsistem ekonomi). Legitimasi itu, sangat di butuhkan untuk menyembunyikan kontradiksi antara produksi yang dilaksanakan oleh pemerintah/negara dan produksi swasta yang masih terus mengeruk keuntungan (nilai lebih). Ini dilakukan dengan cara membuat sistem administrasi (sistem teknokrasi atau birokrasi) yang lepas dari pengambilan keputusan demokrasi sejati, yakni melibatkan partisipasi masyrakat. Dengan demikian, repolitisasi massa, motivasi, kepercayaan, dan loyalitas rakyat, justru mencegah partisipasi, karena itu, rakyat menjadi nonpolitis, dan diarahkan pada karir, hiburan, konsumsi, dan puas dengan posisinya itu (Jurgen Habermas dalam F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, 2009:179).

Pembuatan sistem administrasi tersebut, melibatkan proses-proses rasionalisasi yang pada gilirannya menjadi reifikasi (pembendaan) atau rasionalitas reifikasi (George Lukach, History and Class Consciousness, 1923). Akhirnya menyebabkan depolitisasi massa, rakyat seolah-olah berpartisi, tapi sebenarnya tidak, demos yang tidak kratos, ber-politik tapi tidak politis (polis), ini terlihat jelas dalam politik uang. Artinya, politik uang merupakan salah satu fakta konkrit rasionalitas reifikasi yang tidak lain adalah ciri dari sistem kapitalisme lanjut itu sendiri. Tulisan ini mencoba menjelaskan relasi antara kapitalisme lanjut, rasionalitas reifikasi, dan politik uang, di mana ketiganya menyebabkan kematian politik, namun tidak disadari oleh politik itu sendiri. Untuk itulah tulisan ini dibuat sebagai pengingat, dengan judul obituari politik (berita kematian politik).

Politik Uang

Sebagaimana sudah disinggung di atas bahwa politik uang adalah salah satu ciri dari sistem kapitalisme lanjut. Di dalamnya terjadi jual-beli suara selayaknya komoditi, sering kita lihat pada momen-momen politik, misalnya PILKADA (pemilihan kepala daerah). Politik uang menjadi sesuatu yang niscaya, tidak bisa di elakan, rakyat menerimanya, merelakan suara sakralnya dijadikan komoditi, di beli dengan nominal tertentu. Para aktor politikpun membeli, berlomba mendapatkan komoditi suara rakyat terbanyak, siapa yang banyak uangnya, dialah pemenang, dialah The Prince. Jika ditanya mengapa semua itu terjadi? Tentu sebagian besar orang akan menjawab bahwa siapa yang tidak butuh uang? Ya, kita tahu, uang adalah alat utama untuk memenuhi kebutuhan, dan terbilang tidak mudah memperolehnya, di butuhkan usaha tertentu, bahkan usaha keras. Ketika uang diberikan secara cuma-cuma, maka sangat mudahlah manusia terbuai oleh rayuan aktor politik ber-uang tertentu. Namun, sebenarnya tidak sesederhana itu, politik uang melibatkan proses rasionalitas reifikasi.

Habermas menjelaskan bahwa rasionalitas berhubungan dengan bagaimana subjek memperoleh, berbicara, bertindak, dan menggunakan pengetahuan. Di dalamnya terdapat suatu reabilitas (kepercayaan), terhadap pengetahuan yang ada (Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komuniktaif I; Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat, 2012:10). Pengetahuan merupakan hasil tahu manusia, dengan pengetahuan manusia bisa memiliki pencerahan budi (tercerahkan), kesadaran diri, dan kebijaksanaan. Dalam tradisi pemikiran Yunani purba (dan juga ditempat-tempat lain seperti di India, Cina kuno dan lain sebagainya), pengetahuan merupakan bentuk kehidupan, suatu jalan untuk mengolah, dan mendidik jiwa dengan membebaskan manusia dari perbudakan. Dengan jalan itu, manusia mendapat otonomi serta kebijaksanaan hidup yang itu memperoleh kepadatan isinya melalui fungsinya bagi kehidupan praktis manusia (tindakan) (F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, 2009:22). Dengan kata lain, pengetahuan pada dasarnya untuk mengatarkan manusia pada kesadaran diri, pencerahan budi, dan kebijaksanaan kemudian diaktualisasikan dalam tindakan. Inilah hakikat pengetahuan.
Pengetahuan diperoleh manusia melalui proses belajar di dalam dunia kehidupan. Dunia kehidupan merupakan realitas tempat manusia hidup sehari-hari, bisa di petakan dalam dua bentuk, yakni dunia kehidupan alamiah dan sosial. Dunia alamiah, merupakan tempat manusia memperoleh sumber penghidupan dengan cara mengelola alam. Dunia sosial, tempat manusia saling berinteraksi satu sama lain. Untuk itu, manusia mau tidak mau harus terus belajar, baik untuk mengelola alam maupun berinteraksi. Sebagaimana diintrodusir oleh Habermas bahwa dunia kehidupan adalah tempat belajar manusia, sehingga memungkinkan adanya perubahan baik alamiah mapun sosial (Jurgen Habermas, Legitimation Crisis, 1975). Proses belajar ini kemudian melahirkan pengetahuan dalam mengelola alam dan berinteraksi. Keduanya tidak saling terpisah, melainkan saling melengkapi untuk kebaikan bersama. Kebaikan bersama tidak lain adalah manifestasi dari hakikat pengetahuan itu sendiri.

Dari penjelasan di atas, bisa dipahami bahwa dunia kehidupan sebagai tempat hidup dan belajar manusia, terus mengalami perubahan seiring sejalan dengan perkembangan pengetahuannya. Perkembangan itu, bisa dipetakan dalam dua tahap, yaitu dari non-reflektif ke reflektif. Dalam konteks masyarakat, proses itu menurut Habermas melibatkan bentuk-bentuk diskursus (percakapan) untuk menghasilkan pengetahuan yang sahih. Di dalamnya terdapat klaim kesahihan berdasar ukuran-ukuran dari otoritas tertentu dalam suatu masyarakat (Habermas dalam F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, 2009:172). Diskursus tentang dunia kehidupan alamiah, melahirkan klaim kebenaran tentang pengetahuan cara mengelola alam atau pengetahuan teknis. Diskursus tentang dunia sosial, melahirkan klaim ketepatan tentang pengetahuan norma-norma (sutruktur-struktur normatif) sebagai dasar untuk berinteraksi atau pengetahuan praktis-etis. Pengetahuan teknis dan praktis-etis inilah yang kemudian disebut dengan pengetahuan rasional.

Pengetahuan rasional, di percaya oleh masyarakat sebagai pengetahuan yang benar dan tepat. Kepercayaan itu, lahir dari proses-proses diskursus yang sudah dijelaskan di atas. Di mana klaim kesahihan berdasar pada ukuran dari otoritas tertentu. Dalam masyarakat tradisional, proses belajar berada pada tahap non-reflektif, yakni masyarakat menerima begitu saja klaim kesahihan pengetahuan teknis dan praktis-etis. Klaim itu berdasar pada ukuran-ukuran etis, spiritual, dan metafisis dari pemegang otoritas, misalnya kepala suku. Di sini, kepala suku berperan penting dalam menentukan pengetahuan rasional masyarakatnya.

Berbeda dengan masyarakat tradisional, dalam masyrakat modern kemudian kontemporer, proses belajar berada pada tahap reflektif, yakni masyarakat tidak menerima begitu saja klaim-klaim kesahihan. Industrialisasi, pengetahuan ilmiah (institusi pendidikan), dan teknologi, mendorong proses-proses reflektif tersebut. Ukuran-ukuran kesahihannya lebih bersifat metodis, yakni distansi, netralitas, hukum-hukum, universal, dan instrumental. Pada tahap ini, ukuran etis, spiritual, dan metafisis bisa dikatakan tidak mendapatkan tempat, tapi bukan berarti hilang. Sehingga klaim kesahihan dari otoritas tertentu bergeser ke individu-individu yang tergabung dalam komunitas ilmiah. Artinya, diskursus pengetahuan di dominasi oleh metode tersebut. Dengan demikian, otoritas tidak lagi berada ditangan kepala suku, melainkan pada komunitas ilmiah (misalnya Lingkaran Wina, Mazhab Frankfurt, dan lain sebagainya) dalam mempengaruhi atau menentukan pengetahuan rasional masyarakat.

Jadi terdapat dua jenis pengetahuan rasional, yaitu pengetahuan teknis dan pengetahuan praktis-etis. Pengetahuan teknis berisi tentang cara mengelola alam, terwujud dalam bentuk tindakan kerja, sedangkan pengetahuan praktis-etis, berisi aturan-aturan norma, terwujud dalam bentuk tindakan interaksi (komunikasi). Dari segi orientasi, pengetahuan teknis berorientasi sukses, sedangkan pengetahuan praktis-etis berorientasi saling memahami. Tindakan teknis meletakan alam sebagai objek impersonal, bisa dikalkulasi, digarap, dikelola (kerja) menjadi produk-produk yang bisa dimanfaatkan oleh manusia (sukses). Tindakan praktis-etis, memperlakukan manusia sebagai subjek personal, saling berinteraksi, dan memahami. Kedua tindakan itu, masing-masing disebut oleh Habermas, dengan tindakan rasional-bertujuan dan tindakan komunikasi (Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komuniktaif I, 2012).

Tindakan rasional-bertujuan dan tindakan komunikasi, memiliki ruang lingkup masing-masing, atau wilayah fungsionalnya. Tindakan rasional-bertujuan, untuk melakukan pekerjaan (alamiah), sedangkan tindakan komunikasi untuk berinteraksi (sosial). Keduanya tidak saling bertentangan dan mendominasi, justru saling melengkapi. Bisa dilihat dalam dunia kehidupan tradisional, di tandai dengan nilai-nilai tradisi-kultural. Misalnya terdapat warga yang mau menanam padi (alamiah/produksi). Sebelum melakukannya dia terlebih dahulu berintraksi (sosial/komunikasi) dengan warga lainnya, untuk datang membantunya. Para wargapun bersedia membantu, karena sudah ada konsensus dalam bentuk aturan-aturan norma (struktur-struktur normatif). Berlanjut sampai panen (alamiah/distribusi), mereka yang membantu mendapat imbalan (sosial/komunikasi) berupa hasil panen dengan kadar terentu. Dari sini, kita bisa mengatakan bahwa kedua tindakan rasional tersebut, ketika diterapkan pada wilayah fungsionalnya masing-masing, maka akan tercipta kehidupan yang baik. Dengan demikian, paralel dengan hakikat pengetahuan sebagai mana sudah dijelaskan di atas.

Dalam dunia kehidupan modern, ditandai dengan munculnya industrialisasi dan pengetahuan ilmiah. Terjadi perubahan penerapan wilayah fungsional, atau tepatnya pendominasian ruang lingkup penerapan. Tindakan rasional-bertujuan mendominasi tindakan komunikasi, dengan mengambil alih wilayah fungsionalnya. Dari situ, dunia kehidupan sosial dipahami selayaknya dunia kehidupan alamiah, yakni menggunakan pengetahuan teknis, diatur dengan tindakan rasional bertujuan dan berorientasi sukses. Manusia diletakan sebagai objek impersonal, bisa dikalkulasi, digarap, dikelola (memperkerjakan), menjadi produk-produk yang bermanfaat untuk manusia tertentu. Ini terlihat dalam sistem kapitalisme, misalnya, di pabrik-pabrik, manusia (buruh) dipekerjakan (dikelola), dengan jam kerja (kalkulasi) melebihi dari upah yang mereka terima (digarap), untuk menghasilkan nilai lebih atau keuntungan lebih (sukses) bagi si kapitalis (pemilik modal).

Dalam dunia kehidupan kontemporer, ditandai dengan dominasi sistem kapitalisme lanjut, pengetahuan ilmiah, dan teknologi. Dominasi tindakan rasional-rasional bertujuan semakin meluas, tidak hanya terdapat di pabrik-pabrik, namun juga dalam sistem pemerintahan (politik). Misalnya sistem birokrasi modern atau sistem administratif (sistem teknokrasi). Seperi dijelaskan oleh Weber, bahwa di dalam sistem tersebut, terdapat prinsip area yuridiksional, ditetapkan dan resmi, diatur dengan kaidah hukum atau administratif, prinsip hirarki jabatan dan tingkat-tingkat kewenangan hirarkis, manajemen jabatan berdasarkan aturan-aturan dan aktivitas resmi yang menuntut kapasitas kerja penuh pegawai (Max Weber, Essays in Sosiology, 1946:237-238). Artinya, sistem ini mengarahkan manusia berpikir dan bertindak (digarap) secara sistematis prosedural dan mekansistik (dikelola), mengacu pada aturan-aturan, hukum-hukum dan pengaturan-pengaturan (dikalkulasi), agar efektif dan efisien (sukses).

Sistem tersebut kemudian merembes sampai pada wilayah sosio-kultur. Rakyat diatur secara administratif birokratis (sistem teknokratis), atau diatur dengan pengetahuan teknis dan tindakan rasional-bertujuan. Manusia diletakan selayaknya objek-objek alamiah impersonal. Bisa dikalkulasi, digarap, dikelola, untuk kesusksesan manusia tertentu. Pada titik ini, manusia benar-benar menjadi objek atau terbendakan. Proses-proses objektivikasi manusia melalui pengetahuan teknis dan tindakan rasional-bertujuan inilah yang disebut dengan reifikasi (pembendaan), atau rasionalitas reifikasi. Ketika manusia menjadi benda dalam dunia kehidupan yang di dominasi oleh sistem kapitalisme lanjut, maka manusia kemudian dijadikan komoditi, bisa diperjual belikan. Sebagaimana terlihat jelas dalam politik uang.

Politik uang adalah fakta konkret dari rasionalitas reifikasi. Suara rakyat dijadikan komoditi, di perjual belikan, untuk kesuksesan aktor politik tertentu. Menjadikan suara rakyat sebagai komoditi tidak lain adalah menjadikan manusia sebagai benda. Karena suara rakyat adalah manifestasi harkat dan martabat manusia yang mestinya dijunjung tinggi. Sebagaimana itu dicerminkan dalam prinsip-prinsip demokrasi, yakni kebebasan, kesetaraan atau persamaan, dan kedaulatan rakyat. Dengan kata lain, prinsip-prinsip demokrasi itu adalah harkat dan martabat manusia sendiri yang harus ditegakan dalam sistem politik demokrasi. Dengan demikian, politik uang tidak hanya menjadikan suara rakyat sebagai komoditi, menjadikan manusia sebagai benda, namun juga tidak manusiawi, serta merusak demokrasi.

Uang Politik

Uang politik, saya maksudkan sebagai efek atau akibat-akibat dari politik uang. Jadi pada bagian ini akan dijelaskan efek dari politik uang.

Politik uang akan melanggengkan rasionalitas reifikasi, membentuk mentalitas reifikasi. Misalnya, rakyat berinteraksi dengan motif-motif ekonomis, satu sama lain saling mengkalkulasi secara untung-rugi. Begitu juga relasi antara rakyat dan pemerintah (yang di kuasai oleh aktor pemenang politik uang), keduanya akan saling me-reifikasi. Saling melihat sebagai objek-objek impersonal, sebagai komoditi. Contohnya, jabatan pemerintahan bisa ditawar-tawar dengan nominal tertentu. Merayu rakyat untuk menjual lahannya demi perusahaan asing. Program-program sosialisasi bermotif uang duduk. Tentunya, semua itu dianggap rasional, masuk akal. Padahal bertentangan dengan hakikat pengetahuan yang sudah dijelaskan di atas, yakni untuk mengantarkan manusia pada kesadaran diri, pencerahan budi, dan kebijaksanaan. Artinya, pengetahuan yang rasional, semestinya mengantarkan manusia pada hakikat pengetahuan, bukan sebaliknya, dalam hal ini menjadi benda. Jadi rasionalitas reifikasi sebenarnya adalah irrasionalitas, hanya saja tidak disadari, dalam bahasa psikologi disebut simtom neurosis.

Irrasionalitas dari rasionalitas reifikasi atau simtom neurosis, akan terus berlanjut, Karena pada saat pergantian penguasa melalui PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah), politik uang akan tetap dilakukan. Rakyat pun siap menjual komoditi suara sakralnya, aktor-aktor politik tertentu, kembali berlomba, yang punya uang adalah pemenang. Artinya, selama politik uang masih terus mewarnai PILKADA dan momen-momen politik lainnya, maka akan semakin tertanam mentalitas irrasionalitas dari rasionalitas reifikasi. Mempengaruhi interaksi masyarakat, relasi antara rakyat dan pemerintah seperti yang sudah di jelaskan di atas, otomatis akan semakin banyak simtom-simtom neurosis. Pada saat yang bersamaan, demokrasi menjadi pasar komoditi, tidak lagi sebagai sarana penegakan harkat dan martabat manusia. Pada titik inilah rakyat menjadi demos yang tidak kratos, hanya karena Politik uang.

Politik uang dan irrasionalitas dari rasionalitas reifikasi, akan melanggengkan sistem kapitalisme lanjut. Misalnya, ketika terdapat perusahaan-perusahaan nasional dan multinasional (untuk megeruk nilai lebih) masuk di suatu daerah, maka akan langsung diterima baik oleh pemerintah (yang di kuasai oleh aktor-aktor pemenang politik uang) maupun rakyat, karena sudah bermental rasionalitas reifikasi. Rakyat siap menjadi pekerja di perusahaan tersebut secara temporal, sewaktu-waktu bisa dipecat secara tidak resmi atau resmi (habis kontrak). Sementara perusahaan itu tetap berdiri tegar di tanah rakyat itu sendiri, mengeruk terus nilai lebih. Di sini Perusahaan serta aktor-aktor politik tertentu (pemenang politik uang) dalam pemerintahan diuntungkan, sementara rakyat dirugikan. Dari situ, bisa dikatakan bahwa perusahaan itulah yang berkuasa, bukan pemerintah, dan tentu juga bukan rakyat. Alasannya sederhana, karena aktor-aktor tersebut, mudah dikendalikan oleh perusahaan. Dengan demikian, pemerintah yang diberikan kekuasaan (legitimasi) oleh rakyat untuk menjamin kesejahteraan rakyat, justru kehilangan kekuasaan. inilah yang disebut dengan ber-politik tapi tidak politis (polis). Pada titik ini politik menuai kematiannya, namun tidak disadari oleh politik itu sendiri.

Solusi

Ada kematian, pasti juga ada kehidupan, politik akan lahir kembali, tinggal bagaimana dia di hidupi. Untuk menghidupinya, terlebih dahulu harus diberikan susu beruang. Susu adalah analogi untuk kesehatan mental yang bisa diperoleh dengan meletakan kembali pengetahuan rasional pada wilayah fungsionalnya masing-masing. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa telah terjadi pendominasian terhadap pengetahuan rasional praktis-etis oleh pengetahuan rasional teknis. Artinya, yang teknis tidak bisa ditinggalkan, namun dikembalikan pada fungisnya. Kemudian yang praktis-etis digunakan dalam kehidupan sosial, termasuk politik. Sehingga kita tidak akan menjadikan manusia lain sebagai objek. Dengan itu, interaksi antar manusia akan terjalin secara sehat, dan tindakan yang lahir adalah tindakan komunikasi, dimana kita bisa saling memahami secara aktif, bukan pasif. Sebagai sesama subjek personal bukan objek impersonal. Sebagai sesama manusia bukan benda. Sebagai sesama manusia bukan komoditi.

Pengetahuan rasional praktis-etis, akan melahirkan tindakan rasional praktis-etis yang tidak lain adalah karakteristik para beruang. Beruang adalah analogi untuk manusia-manusia radikal (bukan radikalisme). Manusia radikal adalah subjek negativitas atau berkekurangan, tidak pernah utuh. Subjek negativitas adalah mereka yang senantiasa berdialektika, karena itu dia selalu mengalami disintegrasi dan desubstansialisasi (Salvoj Zizek, Tarrying with The Negative, 1993:21). Dengan karakter negativitas ini, manusia radikal berada dalam ketegangangan antara integrasi dan disintgerasi, antara substansi dan desubstansi. Dengan itu, dia selalu berada dalam proses menjadi dengan cara berinteraksi atau berkomunikasi secara aktif (dialektis).

Naluri untuk terus berkomunikasi itu di karenakan negativitas dari manusia itu sendiri. Dia selalu berusaha untuk mengutuhkan kekurangannya dengan berinteraksi secara aktif, namun selalu saja tidak akan utuh. Dengan pola dialektis ini, manusia radikal tidak mudah dijadikan objek oleh kapitalisme. Karena jika dilihat secara saksama, modus-modus kapitalisme adalah untuk mengutuhkan kekurangan manusia. Misalnya dengan karir, hiburan, konsumsi, dan kepuasan akan posisi-posisi menyilaukan itu.

Begitu juga dengan pengetahuan teknis dan tindakan rasional-bertujuan yang mencoba mengendalikan dunia sosial, sebenarnya adalah usaha untuk mempositivkan negativitas mansuia itu sendiri, dengan cara mengontrolnya secara teknis yang tidak lain adalah usaha pengutuhan. Namun semua itu tidak akan berhasil terhadap subjek radikal, si manusia beruang. Manusia beruang atau manusia radikal (subjek negativitas) inilah yang mampu berdemokrasi dan menghidupi prinsip demokrasi itu sendiri, yakni kebebasan, persamaan atau kesetaraan dan kedaulatan rakyat. Prinsip ini bersifat ontologis, berarti ada dan menjadi ada dalam individu maupun masyarakat (konsep ontologi mengacu pada Heidegger. Lihat Martin Heidegger, Being and Time, 1962:149-168). Serta universal, berarti berlaku bagi seluruh manusia apapun latar belakangnya (Reza A.A.Wattimena, Demokrasi; Dasar Filosofis dan Tantangannya, 2016:95).

Prinsip-prinsip tersebut inklusif dalam subjek negativitas. Dengan kata lain, prinsip itu sudah menjadi karakternya. Untuk bisa berdialektika, berinteraksi, dan berkomunikasi aktif, di butuhkan kebebasan. Sementara persamaan dan kesetaraan, mengandaikan persamaan posisi sebagai sama-sama subjek personalitas, dan kedaulatan, mengandaikan saling memahami secara intersubjektif. Proses-proses ini, selalu dalam bingkai progresifitas atau menjadi (ontologis), dan berlaku bagi setiap orang (universal). Karena sudah menjadi karakter, maka demokrasi manusia radikal tidak hanya terbatas pada momen-momen tertentu, melainkan berlangsung terus dalam kehidupan sehari-hari (lebenswelt). Inilah demos yang kratos, dan inilah ber-politik yang politis (polis). Dari situ politik uang tidak akan terjadi lagi.

Segui Il Tuo Corso, Lescia Dir Le Genti!”

Penulis: Reza D. Tohis, Presidium KAHMI Bolaang Mongondow. 

Editor: Mohamad Ramdhani Amiri

Sumber: Reza D Tohis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x