Mewujudkan Demokrasi Bukan Hanya Sekedar Lambang

30 Mei 2023, 22:15 WIB
Mewujudkan Demokrasi Bukan Hanya Sekedar Lambang /

Penulis : Rizki Posangi

portalkotamobagu.com - Mewujudkan Pemilu yang demokratis tentu bukan perkara yang sederhana, tidak saja seperangkat instrumen regulasi yang tepat agar dapat mendukung terselenggaranya pemilu yang demokratis, akan tetapi yang perlu diketahui, meskipun pemilu merupakan wujud nyata implementasi demokrasi, tidak selamanya pemilihan bersifat demokratis.

Oleh karenanya, pemilu sebagai salah satu aspek demokrasi juga harus diselenggarakan secara demokratis. Pemilu yang demokratis bukan hanya sekedar lambang, tetapi pemilu yang demokratis haruslah kompetitif, berkala, inklusif dan definitif. Pemilu yang demokratis di sebuah negara harus menjunjung tinggi hak setiap warga negara.

Bagaimana menjamin hak-hak warga negara? Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Warga Negara Indonesia yang dimaksud adalah orang-orang/bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. 

Baca Juga: Rahasia di Pasar Siap Dibongkar! BPOM dan Disperindag Latih Petugas dan THL Melawan Ancaman Pangan Berbahaya

Pemerintah harus menjalankan kewenangannya yang diamantkan oleh rakyat, tentunya warga negara harus menyerahkan dirinya untuk berpartisipasi dalam urusan publik dalam hal ini secara sukarela memberi persetujuannya untuk diatur dengan cara membentuk sebuah pemerintahan melalui pemilihan umum sebab prinsip dasarnya demokrasi merupakan sistem pemerintah dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat dimana setiap orang dapat mengambil bagian perihal keputusan yang akan mempengaruhi kehidupan dalam bernegara.

Melihat sejarah Pemantau Pemilu dimulai pada tahun 1997 oleh KIPP (Komite Independent Pemantau Pemilu) dimasa orde baru. Pasca Suharto tumbang semangat untuk mensukseskan Pemilu sudah mulai dijalankan oleh lembaga-lembaga pemantau pemilu seperti JPPR, JAMPI, ANFREL dan FOREK.

Lembaga-lembaga inilah yang bersemagat untuk menjalankan pemilu yang jujur dan adil. Pada tahun 2004 demokrasi sudah mulai stabil dengan terus memperbaiki kualitas demokrasi tetapi masih ada kekhawatiran dengan manipulasi kepemiluan, namun lembaga-lembaga pemantau sudah bergerak ke substansial demokrasi, sebab kelemahan administrasi masih kurang dan memastikan akan lebih baik dari pemilu sebelumnya.

Baca Juga: Jelang Tahun Politik 2024, Polres Bolsel Jalani Sinergitas Bersama TNI dan Pemkab

Perbaikan demi perbaikan terus dilakukan singga masuk ditahun 2014 sudah lebih  membaik karena teknologi pemantau sudah ada, selain itu keterlibatan masyarakat sudah mulai massif, walaupun support dana kurang kepada lembaga-lembaga pemantau namun dukungan dan support masyarakat sudah bermunculan.

Bedahalnya dengan pengawasan pemilu, munculnya lembaga pengawas pemilu yaitu Panwaslak, ini muncul ditengah kekuatan rezim penguasa ditahun 1982 dilatari oleh protes-protes atas banyak pelanggaran dan manipulasi perhitungan suara yang dilakukan oleh para petugas Pemilu tahun 1977,  protes-protes ini lantas direspon oleh pemerintah dan DPR, akhirnya muncul gagasan untuk memperbaiki undang-undang yang bertujuan meningkatkan kualitas pemilu tahun 1982.

Perbaikan demi perbaikan terus dilakukan untuk menjadikan pemilu jujur dan adil hingga lahirlah Undang-undang  nomor 15 Tahun 2011 Tetang Penyelenggara Pemilu dimana Badan Pengawas pemilu tingkat Provinsi dibentuk hingga dirubah lagi menjadi Undang-undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum dimana juga Badan Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota dibentuk.

Bawaslu sebagai Pengawas Pemilu secara berjenjang melibatkan stakeholder dan masyarakat kemudian perangkat dukungannya sudah banyak, tetapi tidak berhenti sampai disini bawaslu harus terus berinovasi demi dan untuk memperbaiki sistem demokrasi di Indonesia.

Baca Juga: Turnamen MSA Esport Dibuka dengan Semangat Oleh Anggota DPRD Bolsel Mohamad Sukri Adam

Proses pembuatan undang-undang Pemilu oleh DPR dan Pemerintah selama ini cenderung tidak memperlakukan sistem pemilihan umum secara komprehensif.

Proses pembuatan undang-undang Pemilu oleh DPR dan Pemerintah selama ini cenderung tidak memperlakukan sistem pemilihan umum secara komprehensif. Proses penyelenggaraan Pemilu tidak disusun berdasarkan parameter Pemilu yang jelas. Satu-satunya tahap yang diatur dengan prinsip yang jelas adalah pemungutan dan penghitungan suara di TPS.

Prinsip yang mengatur proses pemungutan dan penghitungan suara di TPS tidak hanya enam asas Pemilu yang disebutkan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, tetapi juga dua asas tambahan, yaitu transparan dan akuntabel.

Undang-Undang Pemilu mengatur soal kampanye dan dana kampanye Pemilu beserta larangan dan sanksinya. Akan tetapi karena dirumuskan tidak berdasarkan parameter Pemilu demokratik yang jelas, maka tidak hanya ketentuan tentang kampanye dan dana kampanye banyak mengandung kekosongan hukum tetapi juga mekanisme penegakan ketentuan tersebut.

Lain halnya bila ketentuan kampanye dan dana kampanye tersebut berdasarkan parameter yang jelas, seperti persaingan yang bebas dan adil antar peserta Pemilu untuk meyakinkan pemilih agar memberikan suara kepada mereka, akan dapat disusun ketentuan, larangan, sanksi dan mekanisme penegakan hukum yang tepat. 

Baca Juga: Hindari Mafia Tanah! BPN Bolsel Meminta Sertifikat di Bawa Tahun 2012 Untuk Diplotting

Pada peraturan undang-undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum tidak mengatur tentang batasan sumbangan dana kampanye dari partai politik dan caleg, batasan pengeluaran dana kampanye dan obyek pelapor masih partai politik bukan dari calegnya. Ketidak batasan sumbangan dari partai politik dan caleg memberi jalan belakang bagi penyumbang perseorangan dan perusahaan memberikan sumbangan melampaui batas yang telah ditentukan dan membuat caleg berburu dana kampaye kemana saja.

Seharusnya ini diatur dalam perundang-undangan, selain sanksi pidana sanksi administratif juga diberikan berupa larangan untuk mengikuti pemilu berikutnya. Jika ini tidak dilakukan dampak prinsip akuntabilitas transparansi akan terus tercederai, pada ujungnya praktek koruptif dalam pengelolaan pemerintahan terus berjalan dan kepercayaan publik pada politisi dan partai politik akan terus menurun.

Pada kesimpulannya merubahan Undang-undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum dengan memasukan sanksi administrasi berupa larangan untuk mengikuti pemilu berikutnya, kemudian untuk transparasi dana kampanye, KPU membuat aplikasi penerimaan dana kampanye dan Bawaslu berhak mengakses aplikasi.

Pada tahapan pengadministrasian, Komisi Pemilihan Umum agar mengedepankan kepentingan rakyat dalam menyusun tahapan, program dan jadwal penyelenggaraan pemilihan umum, persiapan mesti dilakukan lebih matang. Mengenai penyelenggara tingkat bawah (Adhoc) masih menunjukan minimnya kualitas dan kinerja penyelenggara pemilu, proses perekrutan dinilai kurang transparan hal ini menyebabkan banyak kecurangan dalam pemilu, selain itu penyelenggara di tingkat bawah juga harus diperhatikan hak dan kesejahteraannya. Seluruh desain pemilu harus berorientasi pada pelaksanaan pemilu yang demokrasi.

Baca Juga: Terakhir Lapor LHKPN pada Tahun 2021, Kekayaan Limi Mokodompit Masih jadi Misteri?

Pada tahapan pelaksanaan pemilu pintu masuk yang paling rawan terjadi Sengketa Proses Pemilu adalah verifikasi partai politik, dengan itu penyelenggara pemilu harus lebih cermat dalam melakukan verifikasi partai politik, pendekatan strategis dan mekanis harus dilakukan dengan baik dari aspek legal, formal maupun strategis, pada dasarnya dilakukan dari segi system dan implementasi pelaksanaan verifikasi partai politik.

Melakukan upaya-upaya konstruktif dengan terlibat secara aktif dalam hal penyusunan peraturan KPU, pendaftaran Partai Politik, Verifikasi, dan penetapan partai politik peserta pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD.

Tahapan akhir Pemilu : Sengketa hasil dan evaluasi dan rekomendasi perbaikan pemilu.

Perlu melakukan perbaikan system keadilan pemilu yang mencakup politik hokum dalam penyusunan desain system penegakan hokum pemilu. System diarahkan pada mengoptimalkan koreksi administrasi terhadap akibat yang muncul dari tindakan pelanggaran hokum pemilu guna memulihkan hak-hak peserta pemilu dan masyarakat serta mengembalikan integritas proses dan hasil pemilu serta mengoptimalkan munculnya efek jera dan menciptakan system penegakan hokum yang sederhana, cepat dan biaya murah.

Baca Juga: Bentuk Sinergitas, TNI-Polri Kerja Sama Mencegah Abrasi dengan Penanaman Pohon Mangrove di Desa Linawan

Bermasalahnya implementasi regulasi pemilu menunjukkan kapasitas lembaga negara yang tidak maksimal dalam mengurusi jaminan hak pilih masyarakat. Terlepas dari salah dan benar, semua isu pelanggaran yang beredar patut menjadi evaluasi bagi semua pihak yang terlibat dalam pemilu.

Pertama, bagi KPU isu pelanggaran ini bisa dialihkan menjadi medium pembuktian profesionalitas penyelenggara pemilu. Artinya, KPU bisa mengkonter  isu kecurangan ini lewat pembuktian kinerja, kalau perlu sekalian membuat laporan penyelenggaraan ke hadapan publik. Dalam mengupayakan ini, KPU bisa menggandeng lembaga lain terutama lembaga non-pemerintah yang peduli terhadap isu pelanggaran demokrasi dan pemilu untuk bersedia memberi evaluasi dan masukan. ***

Editor: Moh Irfany Alhabsyi

Tags

Terkini

Terpopuler