Digital Minimalism, Sebuah Pilihan atau Keharusan?

- 29 Oktober 2022, 13:21 WIB
Digital Minimalism, Sebuah Pilihan atau Keharusan?
Digital Minimalism, Sebuah Pilihan atau Keharusan? /Mihuandayani, S.Kom., M.Kom

Penulis : Mihuandayani, S.Kom., M.Kom
Wakil Ketua Bidang Akademik
STMIK Multicom Bolaang Mongondow

PORTAL KOTAMOBAGU, Pikiran Rakyat - Teknologi digital menjadi sebuah bukti kemajuan intelektual yang patut diapresiasi. Menawarkan kemudahan dan solusi di berbagai aktivitas manusia, kemampuannya dalam mendekatkan yang jauh, dan keberadaannya yang mampu menciptakan realitas virtual.

Tanpa disadari semakin berkembangnya generasi dan era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), membuat manusia menjadi ketergantungan dengan teknologi digital.

Sangat lekat dan sulit terpisahkan, seakan-akan hidup terasa hampa jika tidak menggenggam smartphone yang terhubung ke jaringan internet dan menemani keseharian aktivitas kita dimanapun dan kapanpun.

Kehidupan di dunia maya sebut saja di media sosial yang populer digunakan untuk menciptakan ekosistem komunikasi tanpa batasan waktu dan geografi. Media sosial menjadi sebagian kecil potongan atau episode kehidupan yang dibagikan.

Sebuah potret dari akun profil sebagai tempat menuangkan berbagai ekspresi, misalnya mengunggah hal-hal tentang pencapaian, karya, motivasi, kegalauan, produk tertentu, info menarik, atau sekadar hal yang chill.

Memang banyak inspirasi dan ide kreatif yang sumbernya dari media sosial. Begitu banyak deretan postingan disertai caption yang diunggah di jagat maya, dipoles sedemikian estetik dan sempurna demi mendapatkan tanda hati dan barisan jempol dari followers.

Ada juga yang sekadar ingin berbagi story dan kegiatannya untuk mengisi waktu luang. Namun terkadang, media sosial membuat kita sulit membedakan antara hal yang bersifat privasi dan publik.

Kehidupan dunia maya mampu membuat penggunanya menggunakan sebagian besar waktu untuk tenggelam dalam berbagai konten media sosial seperti pada reels yang kadang dirasa related dengan apa yang tengah dialami.

Terlebih, jika malah menjadi FOMO (Fear of Missing out) sebuah istilah bagi individu yang merasa khawatir karena takut ketinggalan tren.

Mungkin ini lebih lekat dengan istilah Digital Maximalism, yaitu mereka yang dikenal sangat fanatik dengan teknologi, memasang berbagai aplikasi yang sebenarnya tidak dibutuhkan, mengecek setiap perkembangan teknologi terbaru karena takut kehilangan peluang, dan bermain online game tak henti-hentinya. Tanpa disadari, aktivitas ini telah mencuri hingga menyita waktu sehingga melewatkan berbagai kesempatan berharga di kehidupan nyata.

Seseorang yang kecanduan akan teknologi cenderung mengalami kompulsi digital yang sulit diatasi. Seringnya pula pengguna media digital yang berlebihan tak menghiraukan orang-orang yang benar-benar ada di sekelilingnya demi membalas tumpukan komentar dan chat yang muncul di layar smartphone.

Padahal, media digital membawa pengaruh yang sangat besar dalam membentuk karakter generasi digital. Kalau dipikir-pikir, apakah generasi ini sedang mengalami krisis identitas sehingga membutuhkan pengakuan eksistensi dirinya? Apakah memang berkeinginan untuk menjadi influencer dan content creator? Seberapa candunya media digital memberi dampak pada kehidupan terutama mental dan karakternya?

Tantangan generasi saat ini adalah bagaimana ia punya kendali dalam menemukan keseimbangan hidup antara dunia nyata dan dunia maya. Bagaimana agar kita dapat memanfaatkan teknologi tanpa merasa dimanfaatkan oleh teknologi itu sendiri.

Kemampuan konsentrasi yang semakin menurun dan sulit fokus pada aktivitas di dunia nyata, juga dipengaruhi oleh terlalu banyaknya screen time. Teknologi digital khususnya media sosial seperti mengambil alih sebagian besar waktu di kehidupan kita dan membuat sulit untuk mengendalikan pikiran.

Aktivitas online seperti bermain game terus menerus dan scrolling media sosial tanpa tujuan, seringnya membuat kita tidak produktif. Menggunakan media sosial yang tidak bijak ini dapat membuat pikiran penggunanya keruh, mudah terdistraksi dan menimbulkan rasa jenuh. Berdasarkan penelitian, seseorang yang sulit fokus cenderung lebih sering merasa cemas, mengalami gangguan mental, bahkan depresi.

Jika sudah sampai sejauh ini pengaruh buruk media digital, mungkin memang perlu menerapkan salah satu filosofi oleh Cal Newport yang dituangkan dalam bukunya yaitu Digital Minimalism - Choosing a focused life in a noisy world.

Digital Minimalism dapat diartikan sebagai suatu pendekatan atau metode dalam menggunakan teknologi secara optimal sehingga berfokus hanya pada aktivitas digital yang bermanfaat bagi penggunanya.

Cara ini dapat menjadi solusi terbaik untuk melatih diri agar lebih fokus dalam kehidupan kita di tengah jenuhnya ledakan informasi digital.

Orang-orang yang menerapkan digital minimalism adalah mereka yang dapat menikmati kehidupan nyata seperti menikmati secangkir kopi di pagi hari, meluangkan waktu membaca buku, lari pagi dengan santai, mengerjakan hobi, berkebun di taman mini, bercengkrama bersama teman dan keluarga tanpa adanya dorongan obsesif untuk mengecek notifikasi di layar smartphone.

Cal Newport dalam bukunya Digital Minimalism memberikan solusi dengan melakukan detoksifikasi melalui digital declutter selama 30 hari. Mengembalikan aktivitas yang santai analog yang disukai dengan fokus pada kehidupan nyata kita.

Menerapkan digital minimalism bukan berarti kita memutus setiap aktivitas kita dengan teknologi digital, namun melakukan pembatasan waktu melakukan aktivitas online dan hanya berfokus untuk menggunakan teknologi pada hal-hal yang menurut kita esensial dan bermanfaat.

Digital declutter adalah tentang mengidentifikasi aktivitas dan kebiasaan alternatif yang membawa makna. Menghabiskan waktu tanpa teknologi yang tidak wajib. Kemudian setelah satu bulan secara bertahap menghubungkan kembali beberapa teknologi tidak wajib tadi, sambil mencurahkan waktu luang untuk kegiatan bermakna yang ditemukan kembali selama sebulan di hari bebas teknologi.

Memiliki waktu sendiri (bukan hanya dalam arti fisik, namun juga dari segi mental yang menjauhi sementara dengan media digital) mungkin memang diperlukan untuk pemikiran yang mendalam dan menyadari bahwa penggunaan media digital yang berlebihan telah mengganggu pikiran secara perlahan-lahan. Manusia memiliki waktu, perhatian, dan energi yang terbatas, sehingga kemampuan mengalokasikan sumber daya ini diperlukan dengan lebih tepat guna.

Bagi pekerja yang memang selama jam kerja penuh menggunakan teknologi atau mungkin pekerja seni seperti content creator yang memang membutuhkan waktunya lebih lama untuk mencari ide dengan media sosial, ini memang menjadi tantangan. Tapi sekali lagi, digital minimalism bukan berarti membatasi kita berkarya atau bekerja dengan teknologi. Tetapi ini tentang pengendalian diri dan prioritas terhadap penggunaan waktu kita.

Kitalah masing-masing yang paling tau mana aplikasi dan media yang mendukung aktivitas kita dan mana yang hanya membuat kita menghabiskan waktu tanpa tujuan yang jelas. Jika sulit melakukannya selama sebulan, mungkin bisa dari hal yang sederhana namun bertahap seperti meluangkan waktu untuk connect with nature, mengutamakan ngobrol secara langsung dengan orang-orang terdekat, dan mengendalikan diri agar tidak berlebihan dengan teknologi.

Mengatur mana aplikasi yang perlu di-freeze, mengatur batas waktu scrolling di media sosial, mengikuti akun-akun yang bermanfaat saja, memfilter pencarian di media sosial, menghindari ketergantungan terhadap likes di media sosial, termasuk melakukan puasa media sosial setiap weekend. Ini akan sedikit membantu kita mengembalikan energi atau recharge pikiran dan mental kita sebelum memulai aktivitas berikutnya.

Digital minimalism mengajarkan kita untuk memprioritaskan apa yang kita hargai. Mengorbankan kebiasaan yang kurang bermakna, menunjukan pemikiran yang fokus, pendekatan yang intentional untuk menghuni realitas yang terbagi ke dalam dunia nyata dan dunia maya.

Pada hakikatnya, filosofi ini mengingatkan kembali kepada kita tentang keseimbangan hidup dan pengendalian pikiran, mana yang menjadi prioritas hidup kita.

Pemanfaatan waktu berharga ini sejalan dengan kandungan dalam Q.S Al-Ashr ayat satu sampai tiga bahwa kehidupan di dunia ini memiliki waktu atau masa yang singkat.

Karena itu manusia harus memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin untuk berbuat baik dan menasehati dalam kebaikan. Jika kita tidak berbuat baik selama hidup maka kita akan masuk dalam golongan yang merugi. Wallahu a’lam. ***

Editor: Yogi Farlin Mokoagow


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x