PARASIT-PARASIT POLITIK

- 21 Mei 2023, 20:32 WIB
Reza D. Tohis
Reza D. Tohis /

Pola pertama, politik ontologis dianalogikan sebagai suatu organisme, tempat dimana parasit hidup/makan di atas/di dalamnya dan parasit-parasitnya adalah aktor politik. Prosesnya bisa dilihat, misalnya, pada momen-momen perjuangan memperebutkan kekuasaan, sebut saja Pemilihan Kepala Daerah (dan suksesi-suksesi demokrasi lainya). Saat kampanye para aktor politik saling menyampaikan gagasan, visi-misi yang bersifat politik ontologis dengan mengatakan jika saya jadi, saya akan membangun…, dan seterusnya. Pada titik inilah politik ontologis sebagai organisme hidup, mulai digerogoti oleh parasit-parasit. Di satu sisi mereka seolah-olah hidup untuknya (politik ontologis), meletakannya di atas permukaan sebagai cintra positif, agar terlihat oleh rakyat bahwa, mereka benar-benar tulus untuk menghidupkannya, untuk mengatur, mengawasi dan memenuhi kebutuhan rakyat. Di lain sisi, ternyata mereka hanya ingin makan di dalamnya. Nampaknya, parasit ini berjenis obligate parasite, hanya bisa hidup/makan di atas/di dalam satu organisme tertentu. Terlihat jelas ketika aktor-aktor politik yang sudah pernah menjadi bupati, kemudian ingin lagi menjadi bupati, pernah menjadi wakil bupati, ingin lagi kembali menjadi wakil bupati atau meningkat jadi bupati. Pernah menjadi anggota dewan, ingin lagi menjadi anggota dewan atau menjadi bupati. Padahal pada saat menjabat tidak memberikan hasil yang signifikan. Secara demokratis, proses tersebut tidak mengapa, toh itu juga hak mereka, toh masih ada juga rakyat memilih mereka. Nah disinilah ke-parasit-an mereka tergambarkan dengan jelas, begitu lihai bermain dan bersembunyi (intrik politik) di atas/di dalam organisme politik ontologis, kemudian digeroggoti, sehingga mulai sakit dan perlahan-lahan mati, efek/akibat obligate parasite.

Pola kedua, politik ontologis yang mati digerogoti oleh parasit digantikan oleh politik kekuasaan, dengan munculnya satu aktor politik sebagai pemenang, sang penguasa/parasit (selanjutnya disebut parasit penguasa). Pemerintahan kemudian dikuasai/dipegang dan sebagai organisme menjadi tempat hidup/makan di atas/di dalamnya. Di satu sisi, parasit penguasa tersebut hidup dengan menancapkan kekuasaannya, menjalarkan ke-parasit-annya di institusi-institusi tertentu. Misalnya tidak jarang kita melihat aktor politis tertentu menempati posisi sentral dalam pemerintahan meskipun tidak kredibel dan kompatibel dengan posisi itu, hanya karena dia memiliki ikatan dengan parasit penguasa. Dari situ kemudian dijalarkan lagi sampai pada kehidupan keseharian masyarakat. Bisa dilihat, misalnya, di hajatan pernikahan dan momen lainnya, penguasa tampil menyampaikan program-program pemerintahan, seolah-olah bersifat politik ontologis, namun nyatanya secara elusif menanamkan kekuasaannya tepat pada kognisi (pengetahuan) masyarakat. Sehingganya dia mampu mengkonstruk pengetahuan masyarakat bahwa dia benar-benar menjalankan politik ontologis. Ini paralel dengan mekanisme kekuasaan Foucault di atas dan juga merupakan salah satu bentuk hegemoni, sebagaimana dijelaskan oleh Antonio Gramschi bahwa, “penguasa dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasif” (Antonio Gramschi in Roger Simon, Gramsch’s Political Though, 19). Mekanisme di atas merupakan cara persuasif. Ada juga dengan kekerasan, hanya saja bukan dalam bentuk fisik, melainkan bentuk simbolis sehingganya menjadi kekerasan simbolik. Misalnya ada aktor politik yang membeli/menggunakan ijazah instan (lebih jauh lihat Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production, 3-137), ini adalah kekerasan simbolik.

Di lain sisi, parasit makan di dalam organisme pemerintahan. Tidak jarang kita temukan adanya parasit penguasa (pejabat dan aktor politik lainnya) terlibat dalam kasus korupsi berbalut program pemerintahan. Alih-alih mereka menjalankan program pemerintahan tertentu, namun anggaran untuk itu justru dimakan, sehingga programpun terbengkalai. Parahnya, jika program tersebut adalah untuk menunjang kebutuhan dan kehidupan masyarakat, maka yang menjadi korban adalah rakyat itu sendiri. Disamping itu, ada juga bentuk yang lain, namun masih berupa indikasi adanya korupsi, misalnya program terlaksana hanya saja tidak sesuai lagi dengan rancangan awalnya, sebagai contoh, pengadaan infastruktur (gedung) fasilitas umum, dengan anggaran 500 juta, namun yang digunakan hanya 300 juta, gedung itupun jadi (ada). Nah tentu beda kualitas gedung 500 juta dengan 300 juta. Katakanlah gedung 500 juta, sesuai rencana awal, akan bertahan selama 5 tahun dengan pengganaan normal. Gedung 300 juta tidak akan bertahan sampai 5 tahun. Disinilah celah-celah indikasi korupsi, kemana 200 jutanya?.

Kemudian terdapat juga wilayah lain tempat parasit bercokol yaitu, keberadaan investor asing. Seringkali kita dengar penguasa berdalih bahwa dengan adanya investor akan membawa manfaat kepada rakyat, salah satunya terbuka lapangan pekerjaan. Memang secara positif ada lapangan pekerjaan, itupun terbatas baik secara person maupun waktu. Justru negatifnya yang lebih banyak, misalnya yang paling nampak rusaknya ekosistem dan lain sebagainya. Ini sudah banyak kita lihat di wilayah lain dan yang paling dirugikan adalah rakyat. Toh pemerintah tetap melegalkannya, meskipun ada perlawanan dari rakyat. Ada apa?.

Nampaknya parasit penguasa yang awalnya berjenis obligate parasite (pola pertama) yang hanya bisa hidup/makan di atas/di dalam satu organisme tertentu, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, ketika pemerintahan dikuasai dan digunakan untuk kepentingan parasit itu sendiri, padahal pemerintah untuk melayani kebutuhan rakyat, akhirnya pemerintahan digerogoti, kemudian, dalam rangka mempertahankan kekuasaanya, mulai bermetamorfosis dengan menggandakan jenisnya menjadi facultative parasite (pola kedua) yaitu, bisa hidup/makan di atas/di dalam berbagai macam organisme. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, parasit penguasa menempatkan aktor pada institusi tertentu, aktor itu-pun menjadi parasit sekaligus organisme tempat hidupnya parasit penguasa, akhirnya keduanya saling menghidupi, membutuhkan dan makan, terjadi simbiosis mutualisme negatif. Pola ini juga berlaku pada investor asing dan juga merupakan efek/akibat bentuk simbiotik, seperti dijelaskan Michel Seres di atas. Akhirnya pemerintahan sakit, secara perlahan-lahan mati. Jika ingin melihat fakta konkretnya, maka lihatlah suatu daerah yang tidak mengalami perkembangan signifikan, bisa ditegaskan, disana banyak parasit.
Pola ketiga, pola ini berjenis facultative parasite tulen yang bisa dilihat pada kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Parasit ini di satu sisi, bisa ber-oposisi, di lain sisi bisa bersimbiosis mutualisme negatif dengan parasit penguasa. Tidak jarang kita melihat ada kelompok yang mengaku aktifis atau sejenisnya, alih-alih mau menegakan politik ontologis, namun ujung-ujungnya cari hidup dan makan. Efek/akibatnya-pun ganda yaitu, simbiotik negatif dan sakit kemudian secara perlahan-lahan organisme tempat mereka hidup, mati.

Solusinya adalah jangan menjadi parasit, tapi menjadi diri-kita sendiri, karena parasit pada prinsipnya bergantung pada organisme lain. Ini bukan berarti kita tidak harus berhubungan dengan individu lain. Heidegger mengatakan bahwa “semua being adalah being with, artinya semua pengalaman being a self (menjadi diri) adalah dibentuk dalam konteks selalu sudah being-with-others (menjadi-bersama-pihak lain), (Heidegger, “Being and Time” in Jean Luc Nancy, Critical Theorist and Internasional Relation, 334). Individu yang menjadi-dirinya sendiri adalah individu yang “memahami”. Memahami dalam konteks ini, bukan hanya soal menangkap informasi tentang sesuatu, melainkan juga soal eksistensial, memahami adalah cara kita bereksistensi (Heidegger dalam F. Budi Hardiman, Seni Memahami,108-109). Jadi Individu yang menjadi diri-sendiri adalah individu yang memahami yaitu, memiliki pemikiran, memperhatikan dan eksistensial, sehingga sikap/tindakan yang lahir adalah perhatian, kepedulian, menghargai dan keterbukaan terhadap yang lain yaitu menjadi being a self .

Being a self bersifat ontologis, dialah aktor politik yang bisa mengembalikan politik pada ranah ontologis. Perjuangan meraih kekuasaanpun (David Mars dan Gery Stoker) dilakukan dengan sikap perhatian, kepedulian, menghargai dan terbuka terhadap yang lain. Ketika kekuasaan diperoleh, maka itu diletakan sebagai amanah dari rakyat, hanya titipan, bukan kepunyaan, digunakan untuk menghidupkan rakyat.
Barangkali solusi atas parasit politik terlihat tak-mungkin, artinya tidak mungkin terealisir. Tapi untuk itulah, mari kita mulai!

Segui il tuo corso, lescia dir le genti!”

Halaman:

Editor: Mohamad Ramdhani Amiri

Sumber: Reza D Tohis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x