PARASIT-PARASIT POLITIK

- 21 Mei 2023, 20:32 WIB
Reza D. Tohis
Reza D. Tohis /

Penulis: Reza D Tohis, Presidium KAHMI Bolaang Mongondow. 

"Marilah kita mulai dengan yang tak mungkin" (Jacques Derrida) 

PARASIT berasal dari bahasa Yunani, parasitos, yang terdiri dari dua kata, para berarti berkaitan erat dan sitos berarti makanan. Parasit bermakna suatu organisme yang hidup di dalam atau di atas organisme lain. Lebih spesifik lagi Paul Singleton menjelaskan bahwa parasit adalah organisme yang hidup di atas/di dalam jaringan organisme hidup lainnya, tempat dimana ia memperoleh makanan. (Paul Singleton, “Dictionary of Microbiology” dalam Yasraf A. Piliang, Hantu-Hantu Politik…, 67). Parasit hidup di atas/di dalam organsisme dengan dua pola atau model kehidupan. Pertama, obligate parasite yaitu, parasit yang hanya dapat hidup sebagai parasit. Kedua, facultative parasite yaitu, parasit yang dapat mengadopsi berbagai gaya hidup atau cara mencari makan alternatif. (Yasraf, 67). Jenis pertama (obligate parasite) memiliki sifat bergantung secara totalitas, sedangkan jenis kedua (facultative parasite) tidak bergantung secara totalitas pada satu organisme.

Keberadaan parasit di atas/di dalam suatu organisme tentunya menghasilkan efek/akibat tertentu. Michel Seres menjelaskan bahwa efek/akibat tersebut bisa negatif atau merugikan alias destruktif (parasit ganas) dan juga bisa postif atau menguntungkan alias konstruktif (parasit simbiotik) (Michel Seres dalam Yasraf, Hantu-Hantu Politik…, 69-70). Parasit ganas merugikan suatu organisme yang ditunggaginya, sehingga menyebabkan organisme itu sakit dan secara perlahan-lahan, mati. Parasit simbiotik menguntungkan suatu organisme yang ditungganginya, sehingga menyebabkan organisme itu lebih hidup dan bisa saja organisme itu justru membutuhkan parasit simbiotik. Selanjutnya akan dijelaskan bagaimana relasi antara konsep parasit di atas dengan politik.

Secara ontologis, politik (selanjutnya disebut politik ontologis) adalah wahana, sarana, intrumen, media, untuk mengatur, mengawasi, serta memenuhi kebutuhan individu-individu dalam suatu masyarakat. Ini tercermin dalam definisi awal politik itu sendiri yaitu “polis” berarti kota (penataan kota). Kota di sini sebagai suatu tingkat capaian tatanan masyarakat yang beradab. Terdapat proses yang harus dilalaui dan penegakan prinsip-prinsip tertentu untuk mencapai tingakatan tersebut. Paralel dengan definisi politik modern, sebagaimana dijelaskan oleh Ahmad Syafii Maarif bahwa “politik berarti seni atau ilmu tentang pemerintahan, suatu ilmu yang berkaitan dengan prinsip pengaturan dan pengawasan rakyat yang hidup dalam masyarakat” (Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante, 12-13). Persis pada titik inilah pemerintah mendapat urgensitasnya. Pemerintah diberikan kekuasaan politik yaitu, kekuasaan untuk mengatur, mengawasi, serta memenuhi kebutuhan masyarakat. Karena kekuasaan tersebut adalah amanah yakni, hak istimewa yang diberikan dan dipercayakan sebagai bentuk manifestasi kedaulatan rakyat yang dihimpun melalui mekanisme demokrasi, maka dengan demikian kekuasaan itu bukanlah kekuasaan absolut, melainkan kekuasaan terbatas, baik secara formal (pembagian kekuasaan secara institusi eksekutif, legislatif dan yudikatif) maupun informal (untuk memenuhi kebutuhan umum bukan kebutuhan pribadi).

Jika kesadaran politik dari para aktor politik berangkat dari politik ontologis di atas, sebagai wahana dan amanah dari rakyat (kekuasaan), maka akan tercapai tatanan masyarakat yang beradab. Salah satu tolak ukur masyarakat beradab adalah majunya (progresif) pendidikan, dalam konteks ini, pemerintah dengan amanah kekuasaan dari masyarakat, mengatur, mengawasi dan memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat. Namun, sebelum untuk itu, pemerintah perlu memberikan contoh yang baik, misalnya tidak membeli ijazah instan.

Sayangnya, politik ontologis, tidak mendapat tempat di dalam pikiran dan aksi (praksis) aktor politik. Justru yang ada adalah politik kekuasaan yang kemudian mengeras menjadi paradigma. Mereka melihat politik sebagai kekuasaan an sich (kekuasaan pada dirinya sendiri [selanjutnya disebut politik kekuasaan]). Kecenderungan ini juga terlihat dalam pendekatan terhadap ilmu politik. Sebagaimana dijelaskan oleh David Mars dan Gery Stoker bahwa terdapat enam pendekatan dalam ilmu politik yaitu behavioralisme, pilihan rasional, institusionalisme, feminisme, anti-fundasionalisme, dan marxisme. Semuanya mempunyai gagasan yang sama tentang politik sebagai perjuangan meraih kekuasaan dalam suatu arena kolektif, namun masing-masing berbeda dalam cara mengungkapkannya (David Mars dan Gery Stoker (ed.), Theory and Methods in Political Science, terj. hlm 11). Penjelasan David dan Gery tersebut, masih berada pada tataran proses, serta mengandung dua konsekuensi, bergantung pada aktor politis. Di satu sisi dapat mengembalikan politik pada ranah ontologis (ini akan penulis jelaskan selanjutnya). Di lain sisi mengukuhkan politik kekuasaan itu sendiri. Namun kenyataan menunjukan bahwa praktik politik yang ada adalah politik kekuasaan.

Politik kekuasaan lahir ketika para aktor politik mendefinisikan politik sebagai kekuasaan an sich. Dalam terminologi Foucault kekuasaan atau kekuatan disebut dengan power yaitu, sesuatu yang dimiliki, dipegang, dan dipertahankan (Foucault, Discipline and Punish in Adrew W. Neal, Critical Theorist and Internasional Relation, 216). Konsep Foucault tersebut menunjukan bahwa, kekuasaan tidak hanya dimiliki dan dipegang (oleh penguasa), melainkan juga dipertahankan melalaui mekanisme yang sangat elusif yaitu, disebarakan melalui jaringan-jaringan institusi. Dengan modus operandi ini, kekuasaan tersebar luas dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat dan yang terpenting menembus ranah pengetahuan (pendidikan). Sehingganya kekuasaan juga berhubungan atau berkolaborasi dengan pengetahuan sebagai instrument sekaligus efek dari kuasa (Foucault dalam Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, 40-41). Jadi, untuk mempertahankan kekuasaan, penguasa menancapkan kekuasaannya melalui jaringan institusi. Misalnya menempatkan aktor-aktor yang memiliki ikatan dengan penguasa, pada institusi tertentu, meskipun aktor itu, secara pengetahuan, tidak kompatibel dengan posisi dalam institusi tersebut. Pada titik ini, terjadi manipulasi pengetahuan. Inilah yang realitas politik yang ada, para aktor politik bergelut untuk meraih kekuasaan, setelah menjadi penguasa, kekuasaan itu dipegang dan dipertahankan, politik kekuasaan menjadi tujuan.

Nah, aktor politik/penguasa yang menjadikan politik sebagai kekuasaan inilah yang saya sebut parasit politik (aktor politik/penguasa = parasit). Bagaimna ini terjadi? Mari kita lihat! konsep dan tipologi serta efek/akibat parasit di atas dianalogikan dengan politik kekuasaan, sedangkan politik ontologis dianalogikan sebagai suatu organisme. Ini memiliki beberapa pola.

Pola pertama, politik ontologis dianalogikan sebagai suatu organisme, tempat dimana parasit hidup/makan di atas/di dalamnya dan parasit-parasitnya adalah aktor politik. Prosesnya bisa dilihat, misalnya, pada momen-momen perjuangan memperebutkan kekuasaan, sebut saja Pemilihan Kepala Daerah (dan suksesi-suksesi demokrasi lainya). Saat kampanye para aktor politik saling menyampaikan gagasan, visi-misi yang bersifat politik ontologis dengan mengatakan jika saya jadi, saya akan membangun…, dan seterusnya. Pada titik inilah politik ontologis sebagai organisme hidup, mulai digerogoti oleh parasit-parasit. Di satu sisi mereka seolah-olah hidup untuknya (politik ontologis), meletakannya di atas permukaan sebagai cintra positif, agar terlihat oleh rakyat bahwa, mereka benar-benar tulus untuk menghidupkannya, untuk mengatur, mengawasi dan memenuhi kebutuhan rakyat. Di lain sisi, ternyata mereka hanya ingin makan di dalamnya. Nampaknya, parasit ini berjenis obligate parasite, hanya bisa hidup/makan di atas/di dalam satu organisme tertentu. Terlihat jelas ketika aktor-aktor politik yang sudah pernah menjadi bupati, kemudian ingin lagi menjadi bupati, pernah menjadi wakil bupati, ingin lagi kembali menjadi wakil bupati atau meningkat jadi bupati. Pernah menjadi anggota dewan, ingin lagi menjadi anggota dewan atau menjadi bupati. Padahal pada saat menjabat tidak memberikan hasil yang signifikan. Secara demokratis, proses tersebut tidak mengapa, toh itu juga hak mereka, toh masih ada juga rakyat memilih mereka. Nah disinilah ke-parasit-an mereka tergambarkan dengan jelas, begitu lihai bermain dan bersembunyi (intrik politik) di atas/di dalam organisme politik ontologis, kemudian digeroggoti, sehingga mulai sakit dan perlahan-lahan mati, efek/akibat obligate parasite.

Pola kedua, politik ontologis yang mati digerogoti oleh parasit digantikan oleh politik kekuasaan, dengan munculnya satu aktor politik sebagai pemenang, sang penguasa/parasit (selanjutnya disebut parasit penguasa). Pemerintahan kemudian dikuasai/dipegang dan sebagai organisme menjadi tempat hidup/makan di atas/di dalamnya. Di satu sisi, parasit penguasa tersebut hidup dengan menancapkan kekuasaannya, menjalarkan ke-parasit-annya di institusi-institusi tertentu. Misalnya tidak jarang kita melihat aktor politis tertentu menempati posisi sentral dalam pemerintahan meskipun tidak kredibel dan kompatibel dengan posisi itu, hanya karena dia memiliki ikatan dengan parasit penguasa. Dari situ kemudian dijalarkan lagi sampai pada kehidupan keseharian masyarakat. Bisa dilihat, misalnya, di hajatan pernikahan dan momen lainnya, penguasa tampil menyampaikan program-program pemerintahan, seolah-olah bersifat politik ontologis, namun nyatanya secara elusif menanamkan kekuasaannya tepat pada kognisi (pengetahuan) masyarakat. Sehingganya dia mampu mengkonstruk pengetahuan masyarakat bahwa dia benar-benar menjalankan politik ontologis. Ini paralel dengan mekanisme kekuasaan Foucault di atas dan juga merupakan salah satu bentuk hegemoni, sebagaimana dijelaskan oleh Antonio Gramschi bahwa, “penguasa dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasif” (Antonio Gramschi in Roger Simon, Gramsch’s Political Though, 19). Mekanisme di atas merupakan cara persuasif. Ada juga dengan kekerasan, hanya saja bukan dalam bentuk fisik, melainkan bentuk simbolis sehingganya menjadi kekerasan simbolik. Misalnya ada aktor politik yang membeli/menggunakan ijazah instan (lebih jauh lihat Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production, 3-137), ini adalah kekerasan simbolik.

Di lain sisi, parasit makan di dalam organisme pemerintahan. Tidak jarang kita temukan adanya parasit penguasa (pejabat dan aktor politik lainnya) terlibat dalam kasus korupsi berbalut program pemerintahan. Alih-alih mereka menjalankan program pemerintahan tertentu, namun anggaran untuk itu justru dimakan, sehingga programpun terbengkalai. Parahnya, jika program tersebut adalah untuk menunjang kebutuhan dan kehidupan masyarakat, maka yang menjadi korban adalah rakyat itu sendiri. Disamping itu, ada juga bentuk yang lain, namun masih berupa indikasi adanya korupsi, misalnya program terlaksana hanya saja tidak sesuai lagi dengan rancangan awalnya, sebagai contoh, pengadaan infastruktur (gedung) fasilitas umum, dengan anggaran 500 juta, namun yang digunakan hanya 300 juta, gedung itupun jadi (ada). Nah tentu beda kualitas gedung 500 juta dengan 300 juta. Katakanlah gedung 500 juta, sesuai rencana awal, akan bertahan selama 5 tahun dengan pengganaan normal. Gedung 300 juta tidak akan bertahan sampai 5 tahun. Disinilah celah-celah indikasi korupsi, kemana 200 jutanya?.

Kemudian terdapat juga wilayah lain tempat parasit bercokol yaitu, keberadaan investor asing. Seringkali kita dengar penguasa berdalih bahwa dengan adanya investor akan membawa manfaat kepada rakyat, salah satunya terbuka lapangan pekerjaan. Memang secara positif ada lapangan pekerjaan, itupun terbatas baik secara person maupun waktu. Justru negatifnya yang lebih banyak, misalnya yang paling nampak rusaknya ekosistem dan lain sebagainya. Ini sudah banyak kita lihat di wilayah lain dan yang paling dirugikan adalah rakyat. Toh pemerintah tetap melegalkannya, meskipun ada perlawanan dari rakyat. Ada apa?.

Nampaknya parasit penguasa yang awalnya berjenis obligate parasite (pola pertama) yang hanya bisa hidup/makan di atas/di dalam satu organisme tertentu, sebagaimana sudah dijelaskan di atas, ketika pemerintahan dikuasai dan digunakan untuk kepentingan parasit itu sendiri, padahal pemerintah untuk melayani kebutuhan rakyat, akhirnya pemerintahan digerogoti, kemudian, dalam rangka mempertahankan kekuasaanya, mulai bermetamorfosis dengan menggandakan jenisnya menjadi facultative parasite (pola kedua) yaitu, bisa hidup/makan di atas/di dalam berbagai macam organisme. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, parasit penguasa menempatkan aktor pada institusi tertentu, aktor itu-pun menjadi parasit sekaligus organisme tempat hidupnya parasit penguasa, akhirnya keduanya saling menghidupi, membutuhkan dan makan, terjadi simbiosis mutualisme negatif. Pola ini juga berlaku pada investor asing dan juga merupakan efek/akibat bentuk simbiotik, seperti dijelaskan Michel Seres di atas. Akhirnya pemerintahan sakit, secara perlahan-lahan mati. Jika ingin melihat fakta konkretnya, maka lihatlah suatu daerah yang tidak mengalami perkembangan signifikan, bisa ditegaskan, disana banyak parasit.
Pola ketiga, pola ini berjenis facultative parasite tulen yang bisa dilihat pada kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Parasit ini di satu sisi, bisa ber-oposisi, di lain sisi bisa bersimbiosis mutualisme negatif dengan parasit penguasa. Tidak jarang kita melihat ada kelompok yang mengaku aktifis atau sejenisnya, alih-alih mau menegakan politik ontologis, namun ujung-ujungnya cari hidup dan makan. Efek/akibatnya-pun ganda yaitu, simbiotik negatif dan sakit kemudian secara perlahan-lahan organisme tempat mereka hidup, mati.

Solusinya adalah jangan menjadi parasit, tapi menjadi diri-kita sendiri, karena parasit pada prinsipnya bergantung pada organisme lain. Ini bukan berarti kita tidak harus berhubungan dengan individu lain. Heidegger mengatakan bahwa “semua being adalah being with, artinya semua pengalaman being a self (menjadi diri) adalah dibentuk dalam konteks selalu sudah being-with-others (menjadi-bersama-pihak lain), (Heidegger, “Being and Time” in Jean Luc Nancy, Critical Theorist and Internasional Relation, 334). Individu yang menjadi-dirinya sendiri adalah individu yang “memahami”. Memahami dalam konteks ini, bukan hanya soal menangkap informasi tentang sesuatu, melainkan juga soal eksistensial, memahami adalah cara kita bereksistensi (Heidegger dalam F. Budi Hardiman, Seni Memahami,108-109). Jadi Individu yang menjadi diri-sendiri adalah individu yang memahami yaitu, memiliki pemikiran, memperhatikan dan eksistensial, sehingga sikap/tindakan yang lahir adalah perhatian, kepedulian, menghargai dan keterbukaan terhadap yang lain yaitu menjadi being a self .

Being a self bersifat ontologis, dialah aktor politik yang bisa mengembalikan politik pada ranah ontologis. Perjuangan meraih kekuasaanpun (David Mars dan Gery Stoker) dilakukan dengan sikap perhatian, kepedulian, menghargai dan terbuka terhadap yang lain. Ketika kekuasaan diperoleh, maka itu diletakan sebagai amanah dari rakyat, hanya titipan, bukan kepunyaan, digunakan untuk menghidupkan rakyat.
Barangkali solusi atas parasit politik terlihat tak-mungkin, artinya tidak mungkin terealisir. Tapi untuk itulah, mari kita mulai!

Segui il tuo corso, lescia dir le genti!”

Editor: Mohamad Ramdhani Amiri

Sumber: Reza D Tohis


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x