Bahkan ada keistimewaan (fadhilah) tersendiri daripada menghilangkannya.
Berbeda dengan sebagian ulama Syafi’i sentris, seperti Syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam as-Sulami (660 H), Ia justru berpendapat, lebih afdhal membersihkan mulut daripada membiarkannya dalam keadaan bau.
Bila diamati, sebenarnya para ulama kita tidak lagi membincangkan mana yang baik dan yang tidak baik.
Tetapi, membahas mana yang lebih baik di antara dua hal baik tersebut. Mengingat, keduanya mengantongi dalil dan argumentasi yang sama-sama kuat.
Dalam hal ini, baik Imam Syafi’i maupun Syekh ‘Izzuddin, senapas untuk berdalil dengan hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu :
“Sungguh bau mulut orang berpuasa, lebih harum di sisi Allah daripada aroma misik (sebutlah kasturi)," HR Al-Bukhari dan Muslim.
Baca Juga: Ini Ujian Terberat Bagi Orang Baik Kata Habib Umar Bin Hafidz
Mereka juga bersepakat bahwa maksud kata ‘athyabu’ dalam hadits bukanlah harum mewangi secara indrawi.
Tetapi tentang apresiasi besar Allah Subhanahu Wa Taala kepada orang yang rela membiarkan bau nafasnya saat puasa.
Bedanya, terletak pada logika hukum dan argumentasi yang ditawarkan dari hadits di atas.