Bolehkah Sikat Gigi Saat Puasa di Bulan Ramadhan? Ini Hukumnya Menurut Hadits dan Pendapat Ulama

- 9 April 2022, 20:17 WIB
Ilustrasi sikat gigi saat puasa di bulan Ramdhan, menurut hadits dan pendapat ulama
Ilustrasi sikat gigi saat puasa di bulan Ramdhan, menurut hadits dan pendapat ulama /Pexels.com/

PORTAL KOTAMOBAGU PRMN - Menjaga kebersihan mulut dengan sikat gigi memakai pasta ataupun bersiwak saat puasa di bulan Ramadhan masih menjadi keraguan bagi sebagai orang.

Walaupun tujuan utama sikat gigi atau bersiwak untuk menjaga kebersihan dan kesehatan mulut, akan menjadi dilema di lakukan saat puasa di bulan Ramadhan.

Banyak pertanyaan yang muncul dari umat muslim terkait boleh tidaknya, sikat gigi atau bersiwak saat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Baca Juga: Ingin Peroleh Lailatul Qadar? Amalkan Doa ini di 10 Malam Terakhir Ramadan

Pendapat ulama juga berbeda, ada yang memperbolehkan ada juga tidak membolehkan dengan dasar kalau tidak hati-hati akan membatalkan puasa.

Tapi disisi lain, dianjurkan untuk bersikat gigi atau berwisak sebelum melaksanakan shalat. Tujuannya agar bau mulut tidak mengganggu jamaah disamping kita.

Dalam literatur fiqih, memang terjadi silang pendapat di kalangan ulama. Jangankan lintas mazhab, pada internal mazhab Syafi’i saja ramai membahas ini.

Di lansir dari YouTube @IslamPopuler, berikut penjelasannya berdasarkan hadist dan pendapat ulama tengang sikat gigi saat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan :

Menurut Imam Syafi’i sendiri, membiarkan bau mulut saat berpuasa dimulai sejak tergelincir matahari hingga terbenam adalah sunnah.

Bahkan ada keistimewaan (fadhilah) tersendiri daripada menghilangkannya.

Berbeda dengan sebagian ulama Syafi’i sentris, seperti Syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam as-Sulami (660 H), Ia justru berpendapat, lebih afdhal membersihkan mulut daripada membiarkannya dalam keadaan bau.

Bila diamati, sebenarnya para ulama kita tidak lagi membincangkan mana yang baik dan yang tidak baik.

Tetapi, membahas mana yang lebih baik di antara dua hal baik tersebut. Mengingat, keduanya mengantongi dalil dan argumentasi yang sama-sama kuat.

Dalam hal ini, baik Imam Syafi’i maupun Syekh ‘Izzuddin, senapas untuk berdalil dengan hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu :

“Sungguh bau mulut orang berpuasa, lebih harum di sisi Allah daripada aroma misik (sebutlah kasturi)," HR Al-Bukhari dan Muslim.

Baca Juga: Ini Ujian Terberat Bagi Orang Baik Kata Habib Umar Bin Hafidz

Mereka juga bersepakat bahwa maksud kata ‘athyabu’ dalam hadits bukanlah harum mewangi secara indrawi.

Tetapi tentang apresiasi besar Allah Subhanahu Wa Taala kepada orang yang rela membiarkan bau nafasnya saat puasa.

Bedanya, terletak pada logika hukum dan argumentasi yang ditawarkan dari hadits di atas.

Sang pendiri mazhab Syafi’i mengatakan, “Ketika Allah mengaitkan antara bau mulut orang puasa dengan pahala yang begitu besar, berarti bau mulut (khaluf) adalah alasan Tuhan mengapresiasi mereka dengan pahala. Karena itu, makruh hukum membersihkannya."

Pendek kata, bila khaluf ini dihilangkan, lalu apa alasan Tuhan akan mengganjari lebih hamba-Nya? Bukankah besar-kecilnya ganjaran tergantung bagaimana beban yang dipikul?

Dalam ushul fiqh, pendekatan ini dikenal dengan ima‘. Suatu metode yang digunakan untuk mengetahui illat (alasan) munculnya sebuah hukum, yang ditandai dengan adanya korelasi antara hukum pemberian pahala dari Allah dan sifat membiarkan bau mulut yang disebutkan dalam redaksi dan konteks dalil yang sama.

Sedangkan Syekh ‘Izzuddin tidak hanya berhenti di sini, tetapi meneruskannya ke tingkat analogi hukum (qiyas).

Lebih hematnya, ini bukan semata tentang bau mulut, tetapi pahala di balik bau mulut tersebut. (lihat Syekh ‘Izzuddin, Maqâshid ash-Shaum, halaman: 13).

Maka, jika bau mulut saja diberi apresiasi besar oleh Allah Subhanahu Wa Taala, apalagi aroma harumnya. Tentu akan diapresiasi lebih besar.

Bukankah sebuah penghormatan bila menemui seorang mulia dengan aroma napas segar nan harum? Apalagi saat menghadap sang pencipta semesta dengan segala kemuliaan dan keagungan-Nya, Pasti jauh lebih baik. Inilah yang dikenal pakar ushul fiqh dengan qiyas aulawi.

Sebuah hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu menyebutkan :

“Kalau saja aku tidak memberatkan umatku, niscaya pasti kuperintahkan mereka untuk bersiwak di setiap shalat," HR Al-Bukhari dan Muslim

Hadits tersebut merupakan bentuk perhatian besar syariat akan kebersihan, terutama saat menghadap Allah dalam shalat.

Itu artinya, membersihkan mulut dengan siwak atau sikat gigi jauh lebih mulia dibandingkan membiarkannya dalam keadaan bau.

Perdebatan di atas dapat dijumpai lebih detailnya dalam kitab Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam (juz 1, halaman: 30).

Secara umum, silang pendapat ini terbagi dua; yaitu pendapat yang memakruhkan bersiwak bagi yang berpuasa, dan pendapat yang menganjurkannya.

Kelompok yang memakruhkan, di samping berdalil dengan hadis khaluf (tentang bau mulut) di atas, juga diperkuat dengan hadits riwayat Khabbab Ibnu al-Art, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

“Apabila kalian berpuasa, bersiwaklah di pagi hari, dan jangan bersiwak di waktu sore. Karena siapa pun yang berpuasa, sementara dua bibirnya kering, maka di hari kiamat keduanya akan bersinar di antara dua matanya," HR al-Baihaqi. (Syekh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, juz 1, halaman: 327)

Sementara pendapat yang menganjurkan, dikuatkan dengan dalil, di mana Abu Ishaq Ibrahim bin Baithar al-Khawarizmi bertanya kepada ‘Ashim ihwal hukum bersiwak saat puasa di pagi dan sore hari. Berikut redaksi lengkapnya (dalam kitab, juz, dan halaman yang sama):

“Apakah orang puasa boleh bersiwak di pagi dan sore hari? ‘Ashim menjawab: Ya. Dari siapa? Tanya Abu Ishaq. Dari Anas bin Malik yang ia terima dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam, jawab Anas," HR Abu Ishaq Ibrahim al-Khawarizmi.

Sebagian lebih condong terhadap pendapat kedua yang menganjurkan untuk membersihkan mulut saat puasa, kapan pun membutuhkannya.

Sebab, ini lebih realistis dan sesuai dengan tabiat kemanusiaan kita. Lebih penting lagi, pendapat ini lebih ramah sosial dibandingkan pendapat pertama.

Tapi jika anda meragukan pendapat yang kedua, lebih baik untuk sikat gigi atau bersiwak sesudah makan sahur dan berbuka puasa.

Itulah hukum sikat gigi saat puasa di bulan Ramadhan, menurut hadits dan pendapat ulama, semoga bermanfaat. (***)

Editor: Paisal Ibrahim Tuliabu

Sumber: YouTube @Islam Populer


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah