Sebelum Islam Datang, Warga Bolaang Mongondow Sulawesi Utara menganut Kepercayaan Ini

- 9 Oktober 2022, 13:50 WIB
Peta Bolaang Mongondow Raya
Peta Bolaang Mongondow Raya /Google Maps/

PORTAL KOTAMOBAGU, Pikiran Rakyat - Sebelum agama Islam datang, masyarakat Bolaang Mongondow Sulawesi Utara telah mengenal aliran kepercayaan.

Kepercayaan ini, hingga sekarang, masih bisa dijumpai di beberapa daerah. Meski jumlahnya memang tinggal sedikit sekali.

Adanya aliran kepercayaan ini muncul sebagaimana budaya yang hadir atas dasar kebiasaan turun temurun.

Dalam komponen kebudayaan universal sistem keyakinan di Bolaang Mongondow, terkadang melekat pandangan sistem keyakinan tentang adanya roh (animisme), kekuatan saksi (dinamisme), dewa-dewa dan Tuhan.

Lantas kepercayaan apa yang dianut warga Bolaang Mongondow sebelum masuknya Islam? Berikut jawabannya, berdasarkan tulisan Hamri Manoppo dkk, yang telah dibukukan dengan judul "Dinamika Islamisasi di Bolaang Mongondow Raya, Sulawesi Utara, Abad ke-17-20".

Dalam buku tersebut terungkap bahwa sebelumnya, mereka menyebut Tuhan dengan nama Kitogi (Sang Maha Pemilik).

Masyarakat Mokapog yang adalah bakal masyarakat kerajaan Kaidipang, kerajaan Bolaang Itang, dan kerajaan Bintauna), juga menganut kepercayaan kepada Otatogi yang berarti Maha Memiliki.

Masyarakat Mokapog meyakini bahwa Dialah yang memiliki jagat raya dan seisinya. Dia yang memberi keselamatan.

Hal ini tergambar dari sastra itum-itum yang berisi doa di kalangan masyarakat Bolaang Mongondow hingga saat ini.

Donald Qomaidiansyah Tungkagi mengungkapkan, masyarakat Bolaang Mongondow mengenal beragam penyebutan nama Tuhan, yang dikenal dengan Ompu Duwata.

Penyebutan ini mirip dengan nama Tuhan masa lalu oleh penduduk lain, seperti masyarakat Tolaki yang dahulu mengenal Tuhan dengan nama “o ombu” (Yang Disembah, Dipuja).

Mirip juga dengan masyarakat Batak Karo di masa lalu yang mengenal Tuhan dengan sebutan “dibata”, atau masyarakat Sangihe-Talaud yang menyebut Tuhan dengan “ruata”.

Kemiripan penyebutan nama Tuhan ini dilatarbelakangi terjadinya perjumpaan dengan kebudayaan lain.

Sementara Reiner Emyot Ointoe menjelaskan, alam pikiran orang Bolaang Mongondow dalam banyak hal masih dipengaruhi oleh tradisi samanisme, yang diasalkan pada pandangan hidup yang dilandaskan pada alam pikiran mistis.

Mereka percaya dengan adanya kekuatan di luar alam yang bisa membantu manusia melakukan aktivitas, seperti pengobatan, mata pencaharian, hingga menentukan gerak-gerik hidup di dalam alam.

Dalam menjalankan sistem kepercayaan ini, masyarakat menggunakan sigi sebagai tempat melakukan ritus-ritus kepercayaan samanisme.

Ridwan Lasabuda menuturkan, pada zaman dahulu setiap desa otonom ditandai dengan adanya sigi (semacam kuil, rumah kecil).

Sigi ditempatkan di halaman rumah kepala desa, sebagai tempat penyembahan kepada ompu duata.

Di dalam sigi disimpan benda-benda pusaka seperti baju, topi, pedang, tongkat, atau piring-piring tua yang diyakini berasal dari leluhur pendiri desa atau leluhur raja-raja Bolaang Mongondow.

Sigi juga merupakan tempat penghapusan dosa atau kesalahan bagi pesakitan, pengampunan bagi pelanggar adat, dan sebagai penghapus aib. Sehingga sigi bisa disebutvmerupakan simbol kesatuan desa.

Setiap tahun masing-masing desa melaksanakan upacara pengobatan desa, pemujaan dan penyembahan terhadap roh-roh leluhur, yang dikenal dengan sebutan monibi.

Dalam upacara ini, mereka mengorbankan hewan seperti babi, kambing betina dan ayam, yang darahnya dipercikkan di atas tangga sigi oleh pemimpin adatnya.

Upacara dilakukan sebagai bentuk sedekah bumi kerajaan Bolaang Mongondow, di mana seluruh masyarakat desa turut serta, tetapi tertutup bagi penduduk luar desa.

Itulah sedikit penjelasan tentang kepercayaan yang dianut masyarakat Bolaang Mongondow sebelum masuknya Islam.***

Editor: Sahril Kadir


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x